Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Anas Ibnu Malik bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Didatangkan untukku Buraq yang merupakan hewan putih, panjangnya diatas himar dan dibawah bagal, kukunya berada di akhir ujungnya. Beliau bersabda, `Aku segera menunggainya hingga tiba di Baitul Maqdis.' Beliau bersabda, `Lalu ia mengikatnya dengan tali (rantai) yang biasa dipakai oleh para nabi untuk mengikat.' Beliau melanjutkan, `Kemudian aku memasuki masjid (Baitul Maqdis) dan mendirikan shalat dua rakaat. Setelah itu, aku keluar. Lalu Malaikat Jibril a.s. mendatangiku dan menyodorkan dua buah gelas yang satu berisi khamar dan lainnya berisi susu. Aku memilih gelas yang berisi susu dan Jibril a.s. berkata, `Engkau telah memilih kesucian.'
Kemudian ia naik bersamaku ke langit yang pertama. Jibril meminta dibukakan pintu. Lalu (malaikat penjaga langit pertama) bertanya, `Siapakah kamu.' Jibril a.s. menjawab, `Jibril.' Kemudian ia ditanya lagi, `Siapakah yang besertamu?' Jibril a.s. menjawab, `Muhammad.' Malaikat itu bertanya, `Apakah kamu diutus?' Jibril menjawab, `Ya, aku diutus.' Lalu pintu langit dibukakan untuk kami. Ternyata aku bertemu dengan Nabi Adam a.s. Ia menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan.
Setelah itu Jibril a.s. naik bersamaku kelangit yang kedua dan meminta dibukakan pintu. Lalu pintu langit kedua dibukakan untuk kami. Di sana aku bertemu dengan dua putra paman Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakaria a.s., keduanya menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan.
Lalu Jibril a.s. naik bersamaku ke langit yang ketiga dan meminta dibukakan pintu langit ketiga. Lalu pintu langit ketiga dibukakan untuk kami. Di sana aku bertemu dengan Yusuf a.s. yang telah dianugerahi sebagian nikmat ketampanan. Ia menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan.
Kemudian Jibril a.s. naik bersamaku kelangit keempat dan meminta dibukakan pintu langit keempat. Lalu pintu langit keempat dibukakan untuk kami. Di sana aku bertemu dengan Idris a.s. yang menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan. Allah SWT berfirman, `Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.'
Setelah itu Jibril a.s. kembali naik bersamaku kelangit yang kelima dan meminta dibukakan pintu langit kelima. Lalu ia membukakan pintu langit yang kelima untuk kami, Di sana aku bertemu dengan Harun a.s. yang menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan.
Malaikat Jibril a.s. kembali naik bersamaku ke langit yang keenam dan meminta dibukakan pintu untuk kami. Lalu ia membukakan pintu keenam untuk kami. Di sana aku bertemu dengan Musa a.s. yang menyambutku dan mendoakanku dengan kebaikan.
Lalu Jibril a.s. naik lagi bersamaku ke langit yang ketujuh dan meminta dibukakan pintu langit ketujuh. Kemudian malaikat penjaga pintu langit ketujuh membukakan pintu untuk kami. Di sana aku bertemu dengan Ibrahim a.s. yang menyandarkan punggungnya ke Baitul Ma'mur yang setiap harinya dimasuki oleh tujuh puluh ribu malaikat dan tidak kembali kepadanya -sebelum menyelesaikan urusannya.
Setelah itu, ia pergi bersamaku ke Sidratul Muntaha. Ternyata, daun-daunnya sebesar kuping gajah dan buah-buahannya menyerupai buah anggur. Begitu perintah Allah SWT menyelubunginya dan menyelubungi apa-apa yang akan diselubungi, ia segera berubah. Tidak ada seorang makhluk Allah pun yang mampu menyifati keindahan dan keelokannya. Lalu Allah Maha Agung mewahyukan apa-apa yang akan diwahyukan-Nya kepadaku dan mewajibkanku untuk mendirikan shalat lima puluh kali setiap hari sehari semalam. Setelah itu, aku turun menemui Musa a.s.. Ia bertanya kepadaku, `Apakah gerangan yang telah diwajibkan Allah SWT atas umatmu.' Aku menjawab,' Mendirikan shalat sebanyak lima puluh kali.' Kemudian ia berkata, `Kembalilah kepada Rabb-mu dan mohonlah kepada-Nya keringanan. Sesungguhnya umatmu tidak memiliki kemampuan untuk melakukan itu. Sesungguhnya aku telah berpengalaman mencobanya kepada Bani Israel.' Beliau melanjutkan sabdanya, `Kemudian aku kembali kepada Rabb-ku dan memohon, `Wahai Rabb, berikanlah keringan untuk umatku.' Dan Ia mengurangi menjadi lima kali. Setelah itu, aku kembali menemui Musa a.s. dan kukatakan kepadanya, `Ia telah mengurangi menjadi lima kali.' Namun Musa a.s. kembali berkata, `Sesungguhnya umatmu tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hal itu. Karena itu kembalilah kepada Rabb-mu dan mohonlah keringanan.' Lalu aku bolak-balik bertemu antara Rabb-ku Yang Maha Tinggi dengan Musa a.s.. Lalu Dia berfirman, `Wahai Muhammad, sesungguhnya kelima shalat itu dilaksanakan setiap sehari semalam. Setiap shalat dihitung sepuluh yang berarti berjumlah lima puluh shalat. Barang siapa yang ingin melakukan suatu kebaikan kemudian tidak melaksanakannya, maka Ku-tuliskan untuknya satu kebaikan. Dan jika ia mengerjakannya, maka Ku-tuliskan untuknya sepuluh kebaikan. Barangsiapa ingin melakukan kejelekan kemudian tidak melakukannya, maka Aku tidak menulis apa-apa padanya. Dan jika ia mengerjakannya, maka Aku menuliskannya satu kejelekan.' Beliau kembali melanjutkan sabdanya, `Lalu aku turun hingga sampai kepada Musa a.s. dan memberitahukan hal tersebut. Musa a.s. berkata, `Kembalilah kepada Rabb-mu dan memohonlah keringanan.' Saat itu Rasulullah saw. bersabda, `Aku katakan kepadanya, `Aku telah berulang kali kembali kepada Rabb-ku hingga aku merasa malu kepada-Nya.'"
Petir
Jiraia
Selasa, 22 Mei 2012
Kisah Islam "KHALIFAH GILA?"
Memang betul, Khalifah Umar bin Khaththab telah berubah ingatan. Banyak yangmelihatnya dengan mata kepala sendiri. Barangkali karena Umar di masamudanya sarat dengan dosa, seperti merampok, mabuk-mabukkan, malah sukamengamuk tanpa berperi kemanusiaan, sampai orang tidak bersalah banyak yangmenjadi korban. Itulah yang mungkin telah menyiksa batinnya sehingga iaditimpa penyakit jiwa.
Dulu Umar sering menangis sendirian sesudah selesai menunaikan salat. Dantiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak, juga sendirian. Tidak ada orang lainyang membuatnya tertawa. Bukankah hal itu merupakan isyarat yang jelas bahwaUmar bin Kaththab sudah gila?
Abdurrahman bin Auf, sebagai salah seorang sahabat Umar yang paling akrab,merasa tersinggung dan sangat murung mendengar tuduhan itu. Apalagi, hampirsemua rakyat Madinah telah sepakat menganggap Umar betul-betul sinting. Dan,sudah tentu, orang sinting tidak layak lagi memimpin umat atau negara.
Yang lebih mengejutkan rakyat, pada waktu melakukan salat Jum'at yang lalu,ketika sedang berada di mimbar untuk membacakan khotbahnya,sekonyong-konyong Umar berseru, "Hai sariah, hai tentaraku. Bukit itu, bukititu, bukit itu!"Jemaah pun geger. Sebab ucapan tersebut sama sekali tidak ada kaitannyadengan isi khotbah yang disampaikan. "Wah, khalifah kita benar-benar sudahgila," gumam rakyat Madinah yang menjadi makmum salat Jumat hari itu.
Tetapi Abdurrahman tidak mau bertindak gegabah, ia harus tahu betul, apasebabnya Umar berbuat begitu. Maka didatanginya Umar, dan ditanyainya,"Wahai Amirul Mukminin. Mengapa engkau berseru-seru di sela-sela khotbahengkau seraya pandangan engkau menatap kejauhan?" Umar dengan tenangmenjelaskan, "Begini, sahabatku. Beberapa pekan yang lewat aku mengirimkanSuriah, pasukan tentara yang tidak kupimpin langsung, untuk membasmi kaumpengacau. Tatkala aku sedang berkhotbah, kulihat pasukan itu dikepung musuhdari segala penjuru. Kulihat pula satu-satunya benteng untuk mempertahankandiri adalah sebuah bukit dibelakang mereka. Maka aku berseru: bukit itu,bukit itu, bukit itu!"
Setengah tidak percaya, Abdurrahman megerutkan kening. "Lalu, mengapa engkaudulu sering menangis dan tertawa sendirian selesai melaksanakan salatfardhu?" tanya Abdurrahman pula. Umar menjawab, "Aku menangis kalau teringatkebiadabanku sebelum Islam. Aku pernah menguburkan anak perempuankuhidup-hidup. Dan aku tertawa jika teringat akan kebodohanku. Kubikin patungdari tepung gandum, dan kusembah-sembah seperti Tuhan."
Abdurrahman lantas mengundurkan diri dari hadapan Khalifah Umar. Ia belumbisa menilai, sejauh mana kebenaran ucapan Umar tadi. Ataukah hal itu justrulebih membuktikan ketidakwarasannya sehingga jawabannya pun kacau balau?Masak ia dapat melihat pasukannya yang terpisah amat jauh dari masjidtempatnya berkhotbah?
Akhirnya, bukti itupun datang tanpa dimintanya. Yaitu manakala sariah yangkirimkan Umar tersebut telah kembali ke Madinah. Wajah mereka berbinar-binarmeskipun nyata sekali tanda-tanda kelelahan dan bekas-bekas luka yangdiderita mereka. Mereka datang membawa kemenangan.
Komandan pasukan itu, pada hari berikutnya, bercerita kepada masyarakatMadinah tentang dasyatnya peperangan yang dialami mereka. "Kami dikepungoleh tentara musuh, tanpa harapan akan dapat meloloskan diri dengan selamat.Lawan secara beringas menghantam kami dari berbagai jurusan. Kami sudahluluh lantak. Kekuatan kami nyaris terkuras habis. Sampai tibalah saat salatJumat yang seharusnya kami kejakan. Persis kala itu, kami mendengar sebuahseruan gaib yang tajam dan tegas: "Bukit itu, bukit itu, bukit itu!" Tigakali seruan tersebut diulang-diulang sehingga kami tahu maksudnya.Serta-merta kami pun mundur ke lereng bukit. Dan kami jadikan bukit itusebagai pelindung di bagian belakang. Dengan demikian kami dapat menghadapiserangn tentara lawan dari satu arah, yakni dari depan. Itulah awal kejayaan
kami."
Abdurrahman mengangguk-anggukkan kepala dengan takjub. Begitu pulamasyarakat yang tadinya menuduh Umar telah berubah ingatan. Abdurrahmankemudian berkata, "Biarlah Umar dengan kelakuannya yang terkadang menyalahiadat. Sebab ia dapat melihat sesuatu yang indera kita tidak mampu melacaknya"
Dari buku Kisah Teladan - K.H. Abdurrahman Arroisi
Dulu Umar sering menangis sendirian sesudah selesai menunaikan salat. Dantiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak, juga sendirian. Tidak ada orang lainyang membuatnya tertawa. Bukankah hal itu merupakan isyarat yang jelas bahwaUmar bin Kaththab sudah gila?
Abdurrahman bin Auf, sebagai salah seorang sahabat Umar yang paling akrab,merasa tersinggung dan sangat murung mendengar tuduhan itu. Apalagi, hampirsemua rakyat Madinah telah sepakat menganggap Umar betul-betul sinting. Dan,sudah tentu, orang sinting tidak layak lagi memimpin umat atau negara.
Yang lebih mengejutkan rakyat, pada waktu melakukan salat Jum'at yang lalu,ketika sedang berada di mimbar untuk membacakan khotbahnya,sekonyong-konyong Umar berseru, "Hai sariah, hai tentaraku. Bukit itu, bukititu, bukit itu!"Jemaah pun geger. Sebab ucapan tersebut sama sekali tidak ada kaitannyadengan isi khotbah yang disampaikan. "Wah, khalifah kita benar-benar sudahgila," gumam rakyat Madinah yang menjadi makmum salat Jumat hari itu.
Tetapi Abdurrahman tidak mau bertindak gegabah, ia harus tahu betul, apasebabnya Umar berbuat begitu. Maka didatanginya Umar, dan ditanyainya,"Wahai Amirul Mukminin. Mengapa engkau berseru-seru di sela-sela khotbahengkau seraya pandangan engkau menatap kejauhan?" Umar dengan tenangmenjelaskan, "Begini, sahabatku. Beberapa pekan yang lewat aku mengirimkanSuriah, pasukan tentara yang tidak kupimpin langsung, untuk membasmi kaumpengacau. Tatkala aku sedang berkhotbah, kulihat pasukan itu dikepung musuhdari segala penjuru. Kulihat pula satu-satunya benteng untuk mempertahankandiri adalah sebuah bukit dibelakang mereka. Maka aku berseru: bukit itu,bukit itu, bukit itu!"
Setengah tidak percaya, Abdurrahman megerutkan kening. "Lalu, mengapa engkaudulu sering menangis dan tertawa sendirian selesai melaksanakan salatfardhu?" tanya Abdurrahman pula. Umar menjawab, "Aku menangis kalau teringatkebiadabanku sebelum Islam. Aku pernah menguburkan anak perempuankuhidup-hidup. Dan aku tertawa jika teringat akan kebodohanku. Kubikin patungdari tepung gandum, dan kusembah-sembah seperti Tuhan."
Abdurrahman lantas mengundurkan diri dari hadapan Khalifah Umar. Ia belumbisa menilai, sejauh mana kebenaran ucapan Umar tadi. Ataukah hal itu justrulebih membuktikan ketidakwarasannya sehingga jawabannya pun kacau balau?Masak ia dapat melihat pasukannya yang terpisah amat jauh dari masjidtempatnya berkhotbah?
Akhirnya, bukti itupun datang tanpa dimintanya. Yaitu manakala sariah yangkirimkan Umar tersebut telah kembali ke Madinah. Wajah mereka berbinar-binarmeskipun nyata sekali tanda-tanda kelelahan dan bekas-bekas luka yangdiderita mereka. Mereka datang membawa kemenangan.
Komandan pasukan itu, pada hari berikutnya, bercerita kepada masyarakatMadinah tentang dasyatnya peperangan yang dialami mereka. "Kami dikepungoleh tentara musuh, tanpa harapan akan dapat meloloskan diri dengan selamat.Lawan secara beringas menghantam kami dari berbagai jurusan. Kami sudahluluh lantak. Kekuatan kami nyaris terkuras habis. Sampai tibalah saat salatJumat yang seharusnya kami kejakan. Persis kala itu, kami mendengar sebuahseruan gaib yang tajam dan tegas: "Bukit itu, bukit itu, bukit itu!" Tigakali seruan tersebut diulang-diulang sehingga kami tahu maksudnya.Serta-merta kami pun mundur ke lereng bukit. Dan kami jadikan bukit itusebagai pelindung di bagian belakang. Dengan demikian kami dapat menghadapiserangn tentara lawan dari satu arah, yakni dari depan. Itulah awal kejayaan
kami."
Abdurrahman mengangguk-anggukkan kepala dengan takjub. Begitu pulamasyarakat yang tadinya menuduh Umar telah berubah ingatan. Abdurrahmankemudian berkata, "Biarlah Umar dengan kelakuannya yang terkadang menyalahiadat. Sebab ia dapat melihat sesuatu yang indera kita tidak mampu melacaknya"
Dari buku Kisah Teladan - K.H. Abdurrahman Arroisi
The TOlol Lirycs
my arrogancy stand up in the middle of blind night, my eye [is] red stare at sharply silence, my road;street [is] dusky pass by the black jungle, called loudly [by] [of] me ossify to solve the night stillness, you don't ask what is in my marrow, you don't try to hinder my step, because principled human being me. this my road;street non your road;street,
so far go, non to become your slave.
but to become the best people on this earth.
Senin, 21 Mei 2012
Cerita Islam "Tsabit Bin Ibrahim"
Seorang lelaki yang saleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan
di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat Sebuah apel jatuh keluar pagar
sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah
membuat air liur Tsabit terbit, apalagi di hari yang panas dan tengah kehausan.
Maka tanpa berpikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel yang lezat
itu. akan tetapi baru setengahnya di makan dia teringat bahwa buah itu bukan
miliknya dan dia belum mendapat ijin pemiliknya. Maka ia segera pergi kedalam
kebun buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya agar menghalalkan buah yang
telah dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung
saja dia berkata, "Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap
Anda menghalalkannya". Orang itu menjawab, "Aku bukan pemilik kebun
ini. Aku Khadamnya yang ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya". Dengan
nada menyesal Tsabit bertanya lagi, "Dimana rumah pemiliknya? Aku akan
menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini."
Pengurus kebun itu memberitahukan, "Apabila engkau ingin pergi kesana maka
engkau harus menempuh perjalan sehari semalam". Tsabit bin Ibrahim
bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orang tua itu,
"Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh.
Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seijin pemiliknya.
Bukankah Rasulullah Saw sudah memperingatkan kita lewat sabdanya : "Siapa
yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api
neraka"
Tsabit pergi juga
ke rumah pemilik kebun itu, dan setiba di sana dia langsung mengetuk pintu.
Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan
sopan, seraya berkata," Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur
makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu
maukah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu ?" Lelaki tua yang ada
dihadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba,
"Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat."
Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa
memenuhinya. Maka segera ia bertanya, "Apa syarat itu tuan ?" Orang
itu menjawab, "Engkau harus mengawini putriku !"Tsabit bin Ibrahim
tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, "Apakah
karena hanya aku makan setengah buah apelmu yang keluar dari kebunmu, aku harus
mengawini putrimu ?" Tetapi pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan
Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, "Sebelum pernikahan dimulai engkau
harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu,
dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang yang lumpuh!"
Tsabit amat
terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah
perempuan seperti itu patut dia persunting sebagai istri gara-gara setengah
buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu
menyatakan lagi, "Selain syarat itu aku tidak bisa menghalalkan apa yang
telah kau makan !" Namun Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, "Aku
akan menerima pinangannya dan perkawinanya. Aku telah bertekad akan mengadakan
transaksi dengan Allah Rabbul 'alamin. Untuk itu aku akan memenuhi
kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah
selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku
di sisi Allah Ta'ala". Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebun itu
menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah
perkawinan usai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui istrinya. Sewaktu Tsabit
hendak masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam
walaupun istrinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah yang
berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun
mengucapkan salam ,"Assalamu'alaikum..." Tak dinyana sama sekali
wanita yang ada dihadapannya dan kini resmi jadi istrinya itu menjawab salamnya
dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu , dia
mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya . Sekali lagi Tsabit terkejut
karena wanita yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya. Tsabit
sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini.
"Kata
ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan
baik. Jika demikian berarti wanita yang ada dihadapanku ini dapat mendengar dan
tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata
dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra
pula", Kata Tsabit dalam hatinya. Tsabit berpikir, mengapa ayahnya
menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan yang sebenarnya ? Setelah
Tsabit duduk di samping istrinya , dia bertanya, "Ayahmu mengatakan
kepadaku bahwa engkau buta . Mengapa ?" Wanita itu kemudian berkata,
"Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan
Allah". Tsabit bertanya lagi, "Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau
tuli. Mengapa?" Wanita itu menjawab, "Ayahku benar, karena aku tidak
pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah.
Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan ?" Tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah
menjadi suaminya. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan istrinya.
Selanjutnya wanita itu berkata, "aku dikatakan bisu karena dalam banyak
hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta'ala saja. Aku
juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang
bisa menimbulkan kegusaran Allah Ta'ala".
Tsabit amat bahagia mendapatkan istri yang ternyata amat saleh dan
wanita yang memelihara dirinya. Dengan bangga ia berkata tentang istrinya,
"Ketika kulihat wajahnya... Subhanallah , dia bagaikan bulan purnama di
malam yang gelap". Tsabit dan istrinya yang salihah dan cantik itu hidup
rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang
ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah
An Nu'man bin Tsabit.
Cerita Sunda "SASAKALA KAMPUNG GOYANG"
SASAKALA KAMPUNG
GOYANG
Kacaritakeun hiji patempatan anu
pinuh ku embeul nu matak nyilakakeun ka sakur jalma atawa sasatoan anu
ngaliwatan eta tempat bakal ti leleup kana jero embeul. Hiji mangsa tengah
peuting keur jemplang jempling, sora jangkrik silih tembalan maturan simpena
eta peuting, ngan simpena eta peuting the leungit ku jorowoknya jalma-jalma anu
keur ngepung bangsat gerot, eta bangsat teh geus ngagarong hiji imah nepi ka
sakabeh anggota kaluargana maot di rogahala ku eta bangsat, iwal ti hiji orok
anu salamet lantaran katutupan ku samping kebat bari tibra sare.
Bangsat eta di udag ku jalma
sakampung ngan ngaleungit di palebah embeul, masarakat geus teu salah piker
deui pasti eta bangsat the tileleup kana eta embeul nu jero, da sakur jalma nu
nincak kana eta embeul, pasti moal salamet kulantaran eta embeul kalintang jero
na, geus loba korban ku eta embeul, diantarana aya aki-aki tukang peuyeum
tileleup kana eta embeul nepi ka ayeuna teu kapanggih ngan ukur tanggungan
peuyeum anu ngambang dina eta luhureun embeul, malah mah sasatoan oge loba anu
asup kana eta embeul, diantarana munding Pa Oyon jeung kuda Mang Sakri.
Sanajan geus di saeur ku taneuh
jeung cadas eta embeul teh anggeur wae jero, malahan mah mun seug mah aya jalma
anu bisa neuaskeun eta embeul mangka eta tempat embeul anu lega na lima hektar
teh jadi milik manehanana da geus taak kabeh jalma ku ayana eta embeul.
Aya hiji kokolot kampung anu ngarana
Abah Ne’en meulak dua tangkal caringin pikeun ciri ka sakabeh jalma sangkan
ulah ngalewatan eta embeul, jarak ti tangkal hiji jeung nu hiji deui eta
tangkal teh kira-kira 2 meter di tengah eta embeul.
Sababaraha taun kaliwat eta tangkal
caringin teh geus geude nu umurna geus Saumur jeung si Ujang, nyaeta orok anu
indung bapa na maot di rogahala ku bangsat nu tadi di caritekeun mimiti, eta
budak teh geus mangkat rumaja. Tangkal caringin eta teh sok di jieun tempat
pangulinan ku barudak anu ngadon hahaleuangan bar icing tararekel mapai-mapai
akar anu mareulit jeung ngarambat kana sisi eta embeul, eta tangkal caringin
teh sok oyag-oyagan lamun di tingali ti kajauhan mah alatan katebak ku angin
siga tatangkalan anu keur ngaribing.
Hiji wanci si Ujang ulin
sosoranganan tataekan dina tangkal eta caringin, ngan dina pikirna jadi ngarasa
sono ka kolotna anu geus taya pi kieu euna, didinya manehna munajat ka Gusti nu
Maha Agung bari ngeuclakeun cai panon kasono ka indung bapana, cai panon eta
maruragan ngeuclak kana eta embeul ku kersaning Pangeran eta embeul teh jadi
teuas ka keclakan cai panon. Nu ahir na tempat eta jadi milik si ujang.
Lila kalilaan tempat eta jadi hiji
lembur anu pinuh ku masarakat jeung katelah ku jalma-jalma nu di sebut Kampung
Goyang.
Muroqi SHalat Jum'at
Sebelum khutbah jum'at biasanya ada
yang namanya muroqi dalam istilah dipedasaan namanya munggahken. Tetapi
tidak disemua pedasaan atau di setiap kota-kota menggunakan muraqi,
karena adanya ikhtilaf (perbedaan) dikalangan para ulama.
Muroqi pada salat jum'at biasanya setelah adzan pertama kemudian muroqi mengambil tongkat dan memberikannya kepada khotib. Salah satu fungsi muroqi itu sendiri adalah untuk memberitahukan kepada jama'ah untuk diam tidak berkata-kata saat khotib berkhutbah.
Berikut bacaan muroqi:
مَعَاشِرَالْمُسْلِمِيْنَ وَزُمْرَةَ الْمُؤْمِنِيْنَ
رَحِمَكُمُ الله
رُوِيَ عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّهُ قَال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ :اِذَا قُلْتَ
لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ اَنْصِتْ وَاْلإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَاتْ:
3xاَنْصِتُوْا وَاسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا رَحِمَكُمُ الله
اَطِيْعُوْا لآاِلهَ اِلاَّالله مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله.
اَللّهُمَّ صَلّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، اَللّهُمَّ صَلّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، اَللّهُمَّ صَلّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ سَيِّدِاْلأَوَّلِيْنَ وَاْلأخِرِيْنَ، وَسَلِّمْ وَرَضِيَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَنْ سَادَاتِنَا اَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ اَجْمَعِيْنَ وَالْحَمْدُلِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
اَللّهُمَّ قَوِّ اْلإِسْلاَمَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَات،ِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَسَيِّرْهُمْ سَيِّرَ مَنْ تَمَسَّكَ بِالدِّيْنِ الْقَوِيْم، يَا رَبِّ اخْتِمْ لَناَ مِنْكَ بِالْخَيْرِ، وَيَا خَيْرَالنَّاصِرِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالمِيْنَ
رُوِيَ عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّهُ قَال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ :اِذَا قُلْتَ
لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ اَنْصِتْ وَاْلإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَاتْ:
3xاَنْصِتُوْا وَاسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا رَحِمَكُمُ الله
اَطِيْعُوْا لآاِلهَ اِلاَّالله مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله.
اَللّهُمَّ صَلّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، اَللّهُمَّ صَلّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، اَللّهُمَّ صَلّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ سَيِّدِاْلأَوَّلِيْنَ وَاْلأخِرِيْنَ، وَسَلِّمْ وَرَضِيَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَنْ سَادَاتِنَا اَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ اَجْمَعِيْنَ وَالْحَمْدُلِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
اَللّهُمَّ قَوِّ اْلإِسْلاَمَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَات،ِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَسَيِّرْهُمْ سَيِّرَ مَنْ تَمَسَّكَ بِالدِّيْنِ الْقَوِيْم، يَا رَبِّ اخْتِمْ لَناَ مِنْكَ بِالْخَيْرِ، وَيَا خَيْرَالنَّاصِرِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالمِيْنَ
Ketika membacakan اَللّهُمَّ صَلّ عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ yang ketiga, muroqi memberikan
tongkat kepada khotib kemudian muroqi meneruskan bacaan doa dibawah ini
diteruskan dengan adzan;
اَللّهُمَّ قَوِّ اْلإِسْلاَمَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَات،ِ
وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَسَيِّرْهُمْ سَيِّرَ مَنْ تَمَسَّكَ
بِالدِّيْنِ الْقَوِيْم، يَا رَبِّ اخْتِمْ لَناَ مِنْكَ بِالْخَيْرِ، وَيَا
خَيْرَالنَّاصِرِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلّهِ
رَبِّ الْعَالمِيْنَ
Sebenarnya setelah saya amati tidak
cukup dengan bahasa Arab saja, lebih baik pakai terjemahan supaya jamaah lebih
mengerti apa maksud dari bacaan muroqi tersebut. Hal ini sangat beguna sekali
dikalangan ummat Islam yang didaerahnya terdapat hal seperti ini, apalagi para
pemuda atau santri yang baru masuk dikehidupan bermasyarakat.
Langganan:
Postingan (Atom)