The Tolol
Petir
Jiraia
Minggu, 26 Juni 2016
KESAKSIAN ORANG YANG PERNAH BERTEMU DENGAN NABI KHIDIR AS
KESAKSIAN ORANG YANG PERNAH BERTEMU DENGAN NABI KHIDIR AS
Hingga sekarang tidak ada yang tahu pasti siapa sebenarnya Khidir. Sosok manusia suci ini masih menjadi perdebatan, dia seorang Nabi atau Waliyullah. Tetapi mengapa Allah SWT menyuruh Nabi Musa AS untuk berguru kepadanya. Dan mengapa juga Allah SWT memerintah Khidir untuk berguru kepada Abu Hanifah. Bahkan ada suatu legenda menarik dalam kalangan masyarakat Jawa, bahwa Lakon Wayang Dewa Ruci tak lain adalah pertemuan antara Sunan Kalijaga dengan Nabi Khidir di tengah samudera. Konon Khidir masih hidup hingga akhir zaman nanti.
Dinamakan khidir (hijau) karena dimana dia berada maka tempat disekitarnya menjadi hijau. (Ibnu Asakir dari Mujahid). Dan apabila khidir duduk diatas jerami yang sudah kering, maka jerami itu akan berubah menjadi hijau kembali. (HR. Imam Bukhari). Khidir adalah nama seorang anak cucu Adam AS yang taat beribadah kepada Allah SWT dan ditangguhkan ajalnya. (Riwayat Ibnu Abbas).
Berikut ini akan kami ketengahkan beberapa kesaksian orang-orang yang pernah bertemu dengan Nabi Khidir AS, dan kami sarikan dari beberapa sumber terpilih:
Rasulullah SAW
Ketika Rasulullah SAW sedang berada di dalam masjid, beliau mendengar orang berkata: “Ya Allah SWT, tolonglah aku atas apa yang bisa menyelamatkan aku dari apa yang paling aku takuti.”
Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Mengapa orang itu tidak menyertakan pasangan do’anya ini; Ya Allah SWT, berilah kepadaku kerinduan orang-orang shaleh yang paling mereka rindukan.”
Kemudian Rasulullah SAW menyuruh sahabat Anas untuk mengatakan apa yang dikatakan itu kepada orang tersebut.
Setelah Anas menyampaikan kepadanya, orang itu berkata: “Ya Anas, katakan kepada Rasulullah SAW bahwa Allah SWT telah memberi kelebihan karunia kepadanya diatas para Nabi seperti kelebihan kepada umatnya diatas umat para Nabi, seperti kelebihan bulan Ramadhan atas bulan-bulan lainnya, dan memberi kelebihan hari Jum’at atas hari-hari yang lainnya.
Lalu orang itu berdo’a: “Ya Allah SWT, jadikanlah aku termasuk golongan umat yang dimuliakan ini.”
Orang tersebut adalah Khidir, kata Anas.
(Riwayat Ibnu Addi dalam Al Kamil).
Abu Bakar As Shiddiq
Pada waktu wafatnya Rasulullah SAW, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki berjenggot lebat dan bertubuh tegap masuk kedalam lalu dia menundukkan kepalanya sambil mencucurkan air mata.
Kemudian dia segera menemui para sahabat Nabi yang ada disana dan berkata: “Sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan balasan pada setiap musibah, pengganti pada setiap yang hilang dan khalifah pada setiap yang tiada. Maka kembalikanlah segalanya kepada Allah SWT dan berharaplah kepada-Nya. Allah SWT telah mempersiapkan segalanya untuk kalian dan ketahuilah bahwasannya yang ditimpa musibah adalah orang yang tidak terpaksa.”
Lalu orang itu pergi, dan para sahabat saling bertanya siapakah gerangan orang terserbut, lalu Abu Bakar segera menjawab: “Dia adalah Khidir saudara Rasulullah SAW.”
(Riwayat Baihaqi dari Anas bin Malik).
Umar bin Khattab
Pada waktu Umar akan menshalatkan mayit, tiba-tiba terdengar suara berbisik dari belakang “Tunggu saya, wahai Umar”.
Maka Umar menunggu dia hingga dia masuk kedalam shaf dan mulai bertakbir. Dalam do’anya Umar berkata: “Jika Engkau mengadzabnya berarti dia durhaka kepada-Mu, tetapi jika Engkau mengampuni dia, maka sesungguhnya dia sangat membutuhkan rahmat-Mu, Ya allah SWT.”
Setelah mayat dikuburkan, seorang laki-laki memperbaiki tanah kuburannya sambil berkata “Beruntunglah kamu wahai penghuni kubur, jika kamu tidak menjadi orang yang mengaku, menyimpan atau menentukan.”
Umar berkata “Bawalah orang itu kemari, akan kutanyakan tentang shalatnya dan pembicaraannya itu.”
Maka seorang laki-laki pergi mencarinya, tetapi orang itu sudah tidak ada, kecuali hanya bekas telapak kakinya di tanah yang besarnya kira-kira satu hasta.
Lalu Umar berkata “Demi Allah SWT, dia itu Khidir yang pernah diceritakan Rasulullah SAW kepadaku.”
(Riwayat Muhammad bin Munkadir).
Ali bin Abi Thalib
Pada waktu aku sedang melakukan thawaf, tiba-tiba kulihat seorang laki-laki sedang bergantung pada kelambu Ka’bah sambil berdoa: “Ya Allah SWT, yang tidak direpotkan oleh sebutan-sebutan yang elok dan tidak disilapkan oleh permintaan- permintaan yang banyak dan tidak disibukkan oleh pengaduan-pengaduan yang bertubi-tubi, dicicipilah aku dengan dinginnya ampunan-Mu, dan manisnya rahmat-Mu.”
Ali berkata: “Wahai hamba Allah SWT, ulangilah perkataanmu itu?”
Kata orang itu: “Apakah anda mendengarnya.”
Ali menjawab: “Ya.”
Lalu orang itu berkata: “Demi Khidir yang jiwanya dalam genggaman-Nya, siapa-siapa orang yang mengucapkan do’a itu pada setiap selesai shalat fardhu maka pasti dia akan mendapatkan ampunan dosa-dosanya dari Allah SWT, sekalipun dosa-dosanya itu laksana bilangan pasir dan seperti butir-butir air hujan atau bagaikan banyaknya daun-daun pepohonan.”
(Riwayat Al Khathib dalam tarikh Bagdad dari Sufyan At Tsauri).
Al Walid bin Abdil Malik bin Marwan
Al Walid bin Abdil Malik bin Marwan adalah pendiri masjid Jami’ Damsyiq. Pada suatu malam dia hendak melakukan ibadah di dalam masjid, dan dia minta kepada semua yang biasa bangun malam untuk membiarkan dia sendirian melakukan ibadah tanpa ditemani mereka.
Pada tengah malam dia datang ke masjid melalui pintu samping. Tiba-tiba dia melihat seorang laki-laki sedang bershalat diantara pintu Sa’at dan pintu Khadlra’.
Al Walib berkata: “Bukankah aku telah menyuruh kalian agar aku tidak ditemani, dan membiarkan aku sendirian di dalam masjid?”
Mereka menjawab: “Ya Amirul Mukminin, dia itu Khidir yang selalu datang bershalat disini setiap malam.”
(Riwayat Ibnu Asakir dalam Tarikh Damsyiq).
Ibrahim At Taimy
Ibrahim At Taimy seringkali melihat dan berkumpul dengan Khidir.
Dia berkata: “Bahwasannya saya pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda kepadaku: “Segala riwayat tentang Khidir itu adalah benar karena dia adalah paling alimnya penduduk bumi ini, dan tokoh pengganti (Wali Abdal) dan dia termasuk tentara Allah SWT (Jundullah) yang dipersiapkan.”
(Riwayat Ibnu Asakir dalam Tarikh Bagdad).
Umar bin Abdil Aziz
Aku melihat seseorang berjalan bersama Umar bin Abdil Aziz, sambil menggandeng tangannya. Dalam hati aku bertanya, barangkali orang ini kurang normal.
Setelah dia selesai bersembahyang, aku bertanya kepadanya: “Siapakah gerangan orang yang menggandeng tanganmu, Ya Amirul Mukminin?”
Dia bertanya: “Apakah kamu melihatnya?”
Ku jawab: “Ya.”
Dia berkata: “Dia itu Khidir, tidak kulihat orang seshalih dia. Dia yang selalu menghimbau aku agar aku bersikap bijak dan adil.”
(Riwayat Abu Nuaim, dalam Al Hilyah, dan Abi Sufyan dari Sirri bin Yahya dari Ribah bin Ubaidillah).
Ibrahim Al Khawash
Dalam perjalananku, aku merasa sangat haus sehingga aku terjatuh pingsan tak sadarkan diri. Tiba-tiba aku merasakan ada percikan air pada wajahku. Setelah ku buka mataku, kulihat seorang pemuda tampan menunggang seekor kuda, berpakaian hijau dan memakai sorban berwarna kuning memberi minum kepadaku, sambil berkata kepadaku: “Naiklah dibelakangku.”
Tidak seberapa lama dari itu, aku sudah sampai di Madinah. Dia berkata kepadaku: “Turunlah, dan sampaikan salamku kepada Rasulullah SAW. Katakanlah kepada beliau bahwa Khidir menyampaikan salam.”
(Riwayat Nabhani dalam kitab Jami’ Karamatil Auliya).
Bisyir Al Hafi
Aku mempunyai sebuah kamar khusus untuk tempat ibadahku. Aku keluar dan mengunci pintunya sedangkan kunci ada di tanganku. Setelah aku kembali, tiba-tiba kulihat seorang laki-laki sedang bersembahyang di dalam, lalu dia berkata: “Jangan takut, aku ini saudaramu, Khidir.”
Aku berkata: “Ajarilah aku sesuatu?”
Dia berkata: “Bacalah Astaghfirullah min kulli syaiin, dan Astaghfirullah min kulli ‘aqdin.”
(Riwayat An Nabhani dalam kitab Jami’ Karamatil Auliya).
Abdul Hakim At Turmudzi
Abu Bakar Al Waraq, murid dari Abdul Hakim At Turmudzi berkata: “Bahwasannya Khidir AS sering datang menjumpai gurunya pada setiap hari Ahad, dan mereka saling berbincang-bincang tentang beberapa kasus atau hal keadaan.”
Al Hujuwairi selanjutnya menceritakan bahwa Abu Bakar Al Waraq berkata: “Muhammad bin Ali Al Hakim, pernah memberikan kertas kepadaku sambil berkata: “Lemparkan kertas ini kedalam laut.”
Tetapi aku tidak melaksanakan perintahnya dan kertas itu kusimpan dilemari rumahku karena hatiku dihantui rasa was-was. Kemudian aku pergi mendatangi Al Hakim dan kukatakan bahwa aku sudah melemparkan kertas itu.
Maka dia bertanya kepadaku: “Apa yang kamu dapatkan?”
Ku jawab: “Tidak kudapati sesuatu apapun.”
Katanya: “Kalau begitu, tentu kamu tidak melemparkan kertas itu. Maka kembalilah dan lemparkan kertas itu ke laut.”
Kemudian aku kembali dan ku lemparkan kertas itu kedalam laut setelah rasa was-was lenyap dari perasaanku. Tiba-tiba air laut itu terbelah, dan muncullah sebuah kotak dalam keadaan terbuka.
Kemudian kudekati kotak itu dan kututup, lalu aku kembali kepada Al Hakim dan menceritakan apa yang terjadi, dan dia berkata: “Nah, kalau sekarang kamu benar-benar telah melemparnya.”
Aku bertanya: “Wahai guruku, apakah rahasia semua ini?”
Dia menjawab: “Aku telah mengarang beberapa buku tentang Ushul dan komentarnya, tetapi sangat sulit dipahami dan tidak dimengerti. Maka Khidir meminta kepadaku naskah-naskah tersebut. Kemudian Allah SWT memerintahkan air untuk menyampaikannya kepada Khidir.”
(Riwayat Al Hujawairi dalam Kasyfil Mahjub).
Abdul Malik At Thabari
Tajul islam Abu Saad As Sam’ani berkata: “Aku pergi menunaikan ibadah haji bersama ayahku. Setelah usai melaksanakan ibadah haji, ayahku mengajakku pergi ke rumah Abdul Malik At Thabari, katanya: “Aku dengar dari salah seorang sufi terkemuka bahwa dia pernah duduk-duduk di dalam Masjidil Haram bersama syekh Abdul Malik At Thabari. Tiba-tiba seseorang masuk dari pintu masjid an berkata kepada syekh Abdul Malik At Thabari “Apakah besok pagi kita akan pergi ke Madinah?”
Syekh Abdul Malik At Thabari menjawab “Ya.”
Orang-orang bertanya kepada syekh Malik siapakah laki-laki tersebut, dan dijawab oleh Syekh Malik bahwa laki-laki itu adalah Khidir AS.
(Riwayat Ibnu Munawwir).
Abu Bakar Al Kattani
Dia adalah seorang tokoh terkemuka, seorang alim yang punya kharisma dan kuat bermujahadah. Di antara mujahadahnya yang sulit di tiru orang biasa adalah dia senantiasa dalam keadaan suci dalam satu hari satu malam, berdiam di bawah kubbah Masjidil Haram selama tiga puluh tahun dan tidak pernah tidur.
Pada suatu hari, seorang laki-laki berwibawa masuk melalui pintu Abi Syaibah, lalu mendekatinya dan memberi salam kepadanya sambil berkata: “Hei Abu Bakar mengapa anda tidak pergi ke Maqam Ibrahim bersama orang-orang yang sedang mendengarkan pelajaran hadist Nabi.”
Abu Bakar mengangkat kepalanya dan berkata: “Wahai guruku, kebanyakan hadist-hadist yang disampaikan mereka itu semuanya tanpa sanad, sedangkan aku dapat menjelaskan dari sini dengan sanad-sanadnya yang panjang.”
Orang itu bertanya: “Dari siapa anda mendengarnya?”
Abu Bakar menjawab: “Allah SWT sendiri yang mengajarkannya ke dalam hatiku.”
“Coba buktikan hal itu kepadaku”, Kata orang itu.
Jawab Abu Bakar: “Buktinya adalah bahwa kamu adalah Khidir AS.”
(Riwayat Ibnu Munawwir).
Abu Abbas Al Qasshab
Ketika Syekh Abu Abbas berada di Naisabur, tiba-tiba datang seorang laki-laki kepadanya sambil berkata: “Aku ini orang asing, datang ke kota ini yang kudapati penuh dengan seruanmu, dengan jagamu dan karamatmu. Maka sekarang ini aku ingin agar kamu memperlihatkan salah satu di antara itu kepadamu.”
Syekh menjawab: “Bukankah yang anda lihat ini adalah satu dari karomah? Bahwasannya Abu Qasshab mempelajari ilmu ini dari ayahnya, dan dia melihat kecerdasan otaknya maka dia dikirim ke Bagdad, lalu dipertemukan dengan Syekh As Syibli yang selanjutnya syekh As Syibli mengirimnya ke Mekkah, lalu ke Madinah, kemudian ke Baitul Maqdis dan Allah SWT mempertemukannya dengan Khidir sehingga hatinya terpaut dalam cinta kepada-Nya dan bersahabat intim dengannya hingga ia kembali lagi ke tempat ini.”
(Riwayat Ibnu Munawwir).
Syekh Abdul Qadir Al Jailani
Pada waktu aku pertama kali memasuki kota Irak, Khidir datang menemui aku, lalu memberi isyarat kepadaku agar aku mematuhi apa yang diperintahkannya kepadaku, katanya: “Duduklah kamu di tempat ini dan jangan beranjak sedikitpun hingga aku datang kembali kemari.”
Maka aku duduk di tempat itu selama tiga tahun. Pada tahun pertama, Khidir datang menjengukku dan berkata: “Teruskan saja tinggal di tempat ini sampai aku datang lagi menjengukmu disini.”
Demikianlah, aku duduk diatas puing-puing reruntuhan kota Madain. Pada tahun pertama aku tidak makan kecuali rerumputan saja dan tidak pernah minum air walaupun hanya seteguk. Pada tahun kedua, aku tidak makan walaupun rerumputan, tetapi hanya minum air saja selama satu tahun. Dan pada tahun ketiga, makan, minum dan tidur dapat kutahan, dan sama sekali tidak kulakukan.
Pada suatu malam dan udara sangat dingin laksana salju, aku mencoba memejamkan mataku diatas reruntuhan istana Kaisar Persia di kota itu juga. Anehnya pada malam itu aku bermimpi keluar mani sebanyak empat puluh kali, dan setiap kali bermimpi aku segera mandi wajib. Maka pada malam itu juga aku mandi wajib sebanyak empat puluh kali agar aku tetap dalam keadaan suci. Setelah mandi yang terakhir aku segera bangun dan berdiri melakukan ibadah supaya tidak tertidur lagi.
(Riwayat Abu Su’ud Al Haraimi dalam Qalaid Al Jawahir).
An Nuri
An Nuri seringkali berkumpul bersama Khidir dan mendapatkan sesuatu yang dibutuhkan olehnya. Tempat pertemuan mereka biasanya didalam masjid di pintu Faradis dalam masjid Damsyiq yang sekarang dikenal dengan kuburan Sayyidah Ruqayyah.
(Riwayat Muhammad Amin Al Umari).
Muhammad Syah An Naqsyabandi
Seorang sahabat dekat Syah pada suatu hari bermaksud untuk menemuinya dirumahnya. Setibanya disana, ia mendapatkan Syah sedang berbincang-bincang dengan seorang laki-laki dikebunnya, tapi ia sendiri tidak mengenal siapa teman berbicara Syah tersebut. Setelah memberi salam, laki-laki itu mundur ke pinggir kebun, lalu dia bertanya kepada Syah yang dijawab: “Dia itu Khidir.”
Dua atau tiga hari setelah itu, ia mendapatkan Syah sedang asyik berbicara dengan laki-laki itu lagi. Tetapi dua bulan kemudian, ia bertemu dengan laki-laki itu di pasar Bukhara. Dia tersenyum kepadanya maka ia mengucapkan salam kepadanya, lalu dia memeluknya dan menanyakan halnya. Setelah ia kembali dan memberitahukan kepada Syah, maka dikatakan kepadanya bahwa ia sebenarnya telah bertemu dengan Khidir di pasar itu.
(Riwayat Al Khani dalam Al Hadaiq Alwardiyah Fi Haqaiq Ajla’ An Naqsyabandiyah).
Abul Hasan Asy Syadzali
Syekh Abul Hasan berkata: “Aku bertemu dengan Khidir di padang Sahara, lalu dia berkata kepadaku: “Hei Abu Hasan semoga Allah menyertai dirimu dengan kehalusan yang indah. Sesungguhnya kamu memiliki sahabat baik di rumah maupun di dalam perjalanan.
(Riwayat Ibnu Atha’ dalam Lathaif Al Minan).
Abu Su’ud bin Syibli
Abu Su’ud sedang menyapu di madrasah gurunya yaitu Syekh Abdul Qadir Jailani. Tiba-tiba didepannya telah berdiri Khidir dan memberi salam kepadanya. Maka Abu Su’ud mengangkat kepalanya dan menjawab salamnya, kemudian ia kembali melakukan pekerjaannya dan tidak memperdulikan Khidir.
Maka Khidir berkata kepadanya: “Kenapa kamu tidak memperdulikan aku seolah-olah kamu tidak mengenalku?”
Jawab Abu Su’ud: “Aku kenal kepadamu, Khidir kan? Kamu tahu bahwa aku sedang sibuk berkhidmat kepada guruku.”
Setelah Khidir memberitahukan hal itu kepada Syekh Abdul Qadir Jailani, dia menjawab: “Memang, dia tidak mau meninggalkan keutamaannya untuk yang lain.”
(Riwayat Muhyiddin dalam Futuhat).
Abu Abdillah Al Qurasyi
Isteri Al Qurasyi pergi meninggalkan suaminya sendirian didalam kamar karena dia sedang sakit. Tidak jauh dia melangkahkan kakinya, tiba-tiba ia mendengar suaminya sedang berbicara dengan seseorang. Maka dia kembali dan menanyakan kepada suaminya, siapakah teman suaminya itu. Jawabnya: “Dia Khidir datang memberikan buah Zaitun kepadaku sebagai obat penyakitku ini dari tanah Nejed, tapi aku menolaknya.
(Riwayat Ibnu Atha’ dalam Al Minan).
Muhyiddin Ibnu Arabi dan Abul Abbas Al Arabi
Ketahuilah wahai wali yang dikasihi Allah SWT, bahwasannya wali autad (pasak) adalah Khidir sahabat Musa AS. Dia diberi umur panjang sampai sekarang, dan kami mempercayai orang-orang yang pernah melihat dia serta menyepakati akan hal-ikhwalnya yang penuh keajaiban itu. Di sebuah jalan menuju rumahku, aku bertemu dengan seseorang yang tidak aku kenal. Lalu dia mengucapkan salam kepadaku sambil berkata: “Wahai Muhammad, benar Syekh Abul Abbas Al Arabi!”
Kujawab: “Ya.” Setelah kuberitahukan kepada guruku, dia berkata bahwa yang kutemui di jalan itu adalah Khidir.
Pernah pula pada suatu ketika aku berada di Tunis, sedang naik perahu dalam keadaan sakit perut sementara penumpang lainnya pada tidur nyenyak.
Maka aku berdiri dipinggir perahu sambil melihat lautan yang luas itu. Tiba-tiba kulihat seorang dari kejauhan di bawah sorotan sinar bulan purnama, sedang menundukkan kepalanya pada permukaan air. Setelah perahu semakin dekat kepadanya, nampak dia sedang berdiri pada sebuah kakinya sedang kakinya yang kiri diangkat keatas. Anehnya kakinya itu tidak basah dengan air. Demikian pula setelah satu kakinya diangkat, nampak tidak ada air yang melekat. Setelah memberi salam kepadaku dan berbicara seperlunya dia pergi ke tepi pantai mencari tempat berlindung di bawah menara. Dia hanya memerlukan dua langkah untuk menuju ke menara itu, padahal jaraknya sekitar dua mil dari pantai. Dari bawah menara jelas suaranya kudengar sedang bertasbih kepada Allah SWT. Sesampainya di daratan kota Tunis pada malam hari, aku bertemu dengan seorang laki-laki yang bertanya kepadaku: “Bagaimana halmu semalam bersama Khidir di tengah lautan, apa yang dibicarakannya kepadamu dan apa yang kamu bicarakan kepadanya?”
Tidak seberapa lama sesudah peristiwa itu, aku berjalan-jalan di tepi pantai bersama dengan temanku yang paling tidak mempercayai hal-hal yang luar biasa, atau keajaiban orang-orang shalih (wali).
Ketika kami masuk ke dalam sebuah masjid untuk melakukan shalat Dzuhur, dan disana aku bertemu dengan orang yang pernah bertemu denganku di tengah laut, yang katanya bernama Khidir itu.
Kemudian dia mengambil tikar di mihrab masjid dan digelar di udara setinggi tujuh hasta dari tanah. Lalu dia berdiri diatas tikar dan melakukan shalat sunnat. Aku berkata pada temanku: “Coba lihat itu bagaimana menurut pendapatmu?”
Jawabnya: “Datangilah dia dan tanyakan kepadanya.”
Segera kudatangi dia. Selesai dia melakukan shalat sunnat, kuucapkan salam kepadanya dan kusampaikan keherananku melihat semua yang telah kulihat paanya. Dia berkata kepadaku: “Wahai kawanku, yang kulakukan ini adalah sebagai jawaban bagi temanmu yang tidak mempercayai hal-hal di luar kebiasaan (karomah) itu.”
Lalu ku tanyakan kepada temanku itu, bagaimana menurutnya sekarang, tetapi dia hanya menjawab: “Apa yang dilihat mata adalah apa yang dikatakan.”
(Riwayat Ibnu Arabi dalam Al Futuhat).
Demikian diantara beberapa kesaksian orang-orang yang pernah bertemu dengan Khidir. Semoga dapat menjadikan kita lebih dekat dan takwa kepada Allah SWT. Amien.
Selasa, 15 Maret 2016
Curhatanku
Saat saya kecil dulu begitu menyenangkan meskipun hidup begitu pas-pasan, tinggal dalam rumah gubuk kecil yang berisikan 8 penghuni rumah, ayahku seorang pegawai PNS yang gajinya (-) dan ibuku seorang pedagang di kantin SD, kakaku ada 3 satu pria dua wanita. begitu nyaman masa-masa itu seakan tiap waktu selalu ingin kembali pada masa itu dimana ketika waktu sebelum subuh rumah sudah ramai dengan kakek yang sedang ibadah, ibu memasak, dan yang paling tak terlupakan ketika kakaku yang pria tiap subuh dapat ceramah dari kake di atas kasur, ya akibat susah bangun, sampe-sampe kakeku menangis karena kakaku susah sekali bangun untuk sholat subuh haduhhh dasar masa remaja yang rada miring.hehehehe tapi meskipun begitu di rumah kami tidak pernah terjadi keributan keluarga, tak pernah terjadi sentak menyentak. rumahku benar-benar surgaku watu itu, haduhhh tapi seiring berjalannya waktu semua berubah dengan cepat, kakek kesayanganku pergi dan ibuku menyusul mungkin nanti saya dulu yang pergi tp entahlah hanya Allao SWT yang maha menghendaki. tinggalah ayahku dan kakak-kakaku sekarang, aku tidak ingin menyia-nyiakan kalian yang masih ada, dibalik sifatku yang dingin, begitu dalam rasaku pada kalian. Kalian selalu ada dalam setiap do'a setelah sujudku. kini saya memiliki keluarga sendiri, istri dan anak-anaku telah menjadi bagian dalam hidupku yang baru. Yah begitulah hidupku, mungkin keluarga sudah jarang kumpul bareng lagi sekarang. tapi saya ingin menjadi sebab keluarga kita seperti dulu lagi dimana saat sahur selalu bersama mauupun saat buka bareng, wah kebbersamaan keluarga kita tiada duanya malah melebihi keluarga cemara.hahaha. jika melihat seorang yang tua renta selalu saja saya meneteskan air mata karena ingat kakek yang begitu sayang padaku, jika melihat ibu-ibu rada montok tapi cerewet saya selalu teringat ibu, tinggal ayah dan kakak-kakaku yang ada sekarang yang masih hidup dan aku tak mau menyakiti hati mereka yang ada dalam kehidupanku, biarlah tubuh ini sakit tapi hatinya jangan, biarlah hati ini sakit tapi selalu dalam kebenaran yang hakiki. apapun yang akan saya lakukan dalam menghadapi sesama selalu saya tanyakan dulu kepada Alloh dan Rosul-Nya. mudah-mudahan kita selalu dipertemukan dalam kebaikan baik dunia maupun akherat, Aamiin.... ngomong-ngomong sebenernya banyak yang saya rasain dari tubuh ini, ketika sakit datang melanda, saya hanya bisa mengingat Alloh, terimakasih Ya Alloh kau jadikan aku dekat dengan-Mu dengan cara sakit ini, karena jika saya sehat selalu kufur akan nikmat-Nya. Alhamdulillah wa Syukurillah. Wallohu a'lam bissowab
Amalah Toriqot Qodiryah wa Naqsyabandiyyah
TAWASSUL
(SUMBER: KITAB UQUDUL JUMAAN TQN PP.SURYALAYA)
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
1. ILAA HADLROTIN NABIYYIL MUSTOFA MUHAMMADIN S.A.W. WA 'ALAA AALIHI WA ASHAABIHI WA AZWAA JIHII WA DZURRIYYATIHII WA AHLI BAITIHI AJMA’IIN. SYAE-UN LILLAHI LAHUM – ALFAATIHAH.
2. TSUMMA ILAA ARWAAHI AABAA IHII WA
UMMAHAATIHI WA IKHWAANIHI MINAL ANBIYAAI WAL MURSALIINA WA ILA MALAAIKATIL MUQORROBIINA WAL KARUUBIYYIINA WASSYUHADAA-I WASSHOOLIHIINA WA AALI KULLIN WA ASH HAABI KULLIN WA ILAA RUUHI ABIINA AADAMA WA UMMINAA HAWAA WAMAA TANAASALA BAYNAHUMAA ILAA YAUMIDDIN SYAE-UN LILAAHI LAHUM – ALFATIHAH.
3. TSUMMA ILAA ARWAAHI SADAATINAA WA MAWAALIINA WAA-IMMATINAA ABII BAKRIN WA UMARO WA USTMAANA WA ‘ALIYY WA ILAA BAQIYYATIS SHOHAABATI WALQORABATI WATTA BI’IINA WATTABI-IT TAABI’IINA LAHUM BIBIHSANIN ILA YAUMIDDIN SYAE-UN LILAAHI LAHUM – ALFATIHAH.
4. TSUMMA ILAA ARWAAHI A-IMMATIL MUJTAHIDIINA WA MUQOLLIDIHIM FIDIINI WAL ‘ULAMAAIR ROOSYIDDINA WAL QURRO-IL MUKHLISHIN WA AHLI-TAFSIIRI WAL MUHADDITSIINA WA SA-IRI SAADAATIS SHUFIYYATIL MUHAQIQIINA WA ILAA ARWAHI KULLI WALIYYIN WA WALIYYAA TIW WA MUSLIMIN WAL MUSLIMATIN MIN MASYARARIQIL ARDHI ILAA MAGHOORIBIHAA WAMIN YAMINIHAA ILAA SYIMAALIHA SYAE-UN LILAAHI LAHUM – ALFATIHAH.
5. TSUMMA ILAA ARWAAHI AHLI SILSILATIL QOODIRIYYATI WA NAQSYABANDIYYATI WA JAMII’I AHLIT THURUQI KHUSUSON ILAA HADLROTI SULTHONIL AULIYAA-I GHAOTSILL A’DHOMI QUTUBIL 'AALAMIINAS SAYYIDISY SYAIKH 'ABDULQODIR JAELAANI QODDASALLOHU SIRROHU WA SAYYIDIS SYAIKH ABIL QOOSIMI JUNAIDIIL BAGHDAADII WA SAYYIDIS SYEKH MA’RUUFILKARKHI WA SAYYIDIS SYEH SIRRIS SAQOTHII WA SAYYIDIS SYEKH HABIIBIL ‘AJMII WA SAYYIDIS SYEKH HASAN BASRI WA SAYYIDIS SYEKH JA’FAR SHOODIQI WA SAYYIDIS SYEKH YUUSUFUL HAMDAANI WA SAYYIDIS SYEKH ABIIYAZIIDAL BUSTTHOMI WA SAYYIDIS SYEKH BAHAAUDINI NAQSYABANDII WA HALDROTI IMAAMI’R ROBBAANI WA HADLROTI SYAEKHINAL MUKARROM A SAYYIDIS SYEKH ABDILLAH MUBAROK BIN NUUR MUHAMMAD WASYEKHUNAL MUKARROM A SAYYIDIS SYEIKH AHMAD SHOHIBULWAFA TAJUL ARIFIN. RA WA USHUULIHIM WA FURUUIHIM WA AHLI SILSILATIHIM WAL AAKHIDZINA ANHUM SYAE-UN LILAAHI LAHUM – ALFATIHAH.
6. TSUMMA ILAA ARWAAHI WAALIDDINA WA WAALIDIKUM WA MASYAAYIIKHINA WA MASYAAYIKHIKUM WA AMWAATINA WA AMWAATIKUM WALIMAN AHSANA ILAINA WALIMAN LAHUU HAQOUN ALAINA WALIMAN AW SHONA WAS TAOSHONA WA QOLLADANAA ‘INDAKA BI DU’AA ILKHOIRI SYAE-UN LILAAHI LAHUM – ALFATIHAH.
7. TSUMMA ILAA ARWAAHI JAMI’IL MU’MINIINA WAL MU’MINAATI WAL MUSLIMIINA WA MUSLIMAATI AL-AHYAA-I MINHUM WAL AMWAAT MIN MASAARIQIL ARDLI ILAA MAGHOORBIHAA WAMIN YAMIINIHAA ILAA SYIMAALIHAA WAMIN QOOFIN ILAA QOOFIN MINWALADI AADAMA ILAA YAUMILQIYAAMAH SYAE-UN LILAAHI LAHUM – ALFATIHAH.
LAA ILAAHA ILLALLOOHUWALLOOHUAKBAR WALILLAHIILHAMDU
BISMILLAHIRROHMAANIRROHIM
QUL HUWAL LAAHU AHAD. AL-LAAHUSHOMAD. LAM YALID WA LAMYUULAD. WA LAM YAA KUL LAAHUU KUFUUWAN AHAAD. 3X
LAA ILAAHA ILLALLOOHUWALLOOHUAKBAR WALILLAHIILHAMDU
BISMILLAHIRROHMAANIRROHIM
QUL A’UUDZU BIROBBIL FALAQ. MINSYAR-RI MAA KHOLAQ-O. WA MIN SYARI-RI GHOOSIGIN IDZAA WAQOB. WA MIN SYA-RI NAF-FAATSAATI FIL UQOD-I. WA MIN SYAR-RI HAASIDIN IDZAA HASAD.
LAA ILAAHA ILLALLOOHUWALLOOHUAKBAR WALILLAHIILHAMDU
BISMILLAHIRROHMAANIRROHIM
QUL A’UUDZU BIROB-BIN NAAS-I. MALIKIN NAAS-I. ILAAHIN NAAS-I. MIN SYAR-RIL WAS WASIL KHON-NAAS. AL-LADZII YUWAS WISUFII SHUDUURIN NAAS-I. MINAL JIN NATI WAN-NAAS.
LAA ILAAHA ILLALLOOHUWALLOOHUAKBAR WALILLAHIILHAMDU
BISMILLAHIRROHMAANIRROHIM
ALHAMDU LILLAAHI ROB-BIL ‘AALAMIN. ARROHMAANIR-ROHIM. MAALIKI YAUMIDDIN. IYYAAKA NA’BUDU WA IYYAAKA NASTA’IN. IHDINASHSHIROOTHOL MUSTAQIIN. SHIROOTHOL-LADZIINA AN’AMTA ALAIHIM. GHOIRIL MAGDUUBI ‘ALAIHIM WALADH DHOOLIIN.
LAA ILAAHA ILLALLOOHUWALLOOHUAKBAR WALILLAHIILHAMDU
BISMILLAHIRROHMAANIRROHIM
ALIF-LAAM-MIIM. DZAALIKAL KITAABU LAA ROIBA FIIHI HUDAN LILMUTAQIIN. AL-LADZIINA YU MINUUNA BIL GHOIBI WA YUQIIMUUNASH-SHOLAATA. WA MIMMA ROZAQNAAHUM YUNFIQUUN. WAL-LADZIINA YU MINUUNA BIMA UNZILA ILAIKA WA MAA-UNZIILA MIN QOBLIKA WA BIL AAKHIROTI HUM YUUQINUUN. ULAA-IKA ALLA HUDAM MIRROB-BIHIM WA ULAIKA HUMUL MUFLIHUUN. WA ILAAHUKUM ILAAHUW WAAHID LAA ILAAHA ILLA HUWARROHMAANURROHIM. ALLAAHU LAA ILAAHA ILAA HUWAL HAYYUL QOYYUM. LAATA’KHUDZZHUU SINATUW WALAA NAUMUN LA-HUU MAA FISSAMAAWAATI WAMAA FIL ARDLI. MAN DZAALADZII YASFA’UU INDAHU ILLAA BI-IDZNIHI YA’LAMU MAA BAINA AIDIIHIM WAMAA KHALFAHUM. WALAA YUHITHUUNA BISYA-IN MIN ILMIHII ALAA BIMAA SYAA’A WASIA KURSIYYUHUSSAMAWAATI WA ARDLO. WALAA YA’UUDUHUU HIFDHUHUMA WA HUWAL ALIYYUL’ADHIIM.
BISMILLAHIRROHMAANIRROHIM
INH-NAA ANZALNAAHU FII LAILATIL QODR-I. WA MAA ADROOKA MAA LAILATUR QODR. LAILATUL QODR-I KHORUM MIN ALFI SYAHR-IN TANAZ-ZALUL MALAA-IKATU WARRUUHU FIIHA BI IDZNI ROB-BIHIIM MIN KUL-LI AMR-IN. SALAMUN HIYA HAT-TAA MATHLA’IL FAJR-I.
BISMILLAHIRROHMANIRROHIIIM
WAL 'ASHRI. INNAL INSANA LAFII KHUSRIN. ILLALLADZIINA AAMANUU WA 'AMILUSH SHOOLIHAATI WA TAWAA SHOUBIL HAQQI WA TAWAA SHOUBISHSHOBRI.
BISMILLAHIRROHMAANIRROHIM
IDZAA JAA-A NASHRUL LOOHI WAL FAT-HU. WA RO-AITAN NAASA YAD KHULUUNA FIIDIINIL LAAHI AF WAAJAA. FASAB BIN BIHAMDI ROBBIKA WA TAGHFIRH-U INNAHU KAANA TA WAABA.
INNAALLOHA WAMALAAIKATAHU YUSHOLLUUNA’ALAM NABIYYAA AYYUHALLADZIINAA AAMANUU SHOLLUU’ALAIHI WASALLIMU TASLIMAA
ALLOOHUMA SHOLLI SHOLAATAN KAAMILATAN WASALLIM SALAMAN TAAMAN 'ALLA SYAYYIDDINA MUHAMMADINIIL LADZII TANHALLU BIHHIL ‘UQODUU. WATAN FARIJU BIHHIL QUROBUU WATUUKDHO BIHHIL HAWAA IJU WATUNAALU BIHHI ROGHO IBU WAKH-HUSNUUL KHOMWATIMI WAYUS TASQOL. GHOMAAMU BIWAJ HIHHIL KARIMI WA ALAA AALIHII WASHOH BIHHI FIKULLI LAMHATIN. WANA FASIN BI'ADADI KULLI MA’LUM MILLAK.
. 3X
Artinya :
“Ya Allah Tuhan Kami, limpahkanlah kesejahteraan dan keselamatan yang sempurna atas junjungan kami Nabi Muhammad SAW. Semoga terurai dengan berkahnya segala macam buhulan/ikatan, dilepaskan/ lenyap dari segala kesusahan, ditunaikan/ dikabulkan segala macam hajat, tercapai segala keinginan dan khusnul khotimah, dicurahkan hujan rahmat dengan berkah pribadinya yang mulia/yang pemurah. Kesejahteraan dan keselamatan yang sempurna itu, semoga Engkau limpahkan juga kepada para keluarga dan sahabatnya setiap kedipan mata dan hembusan nafas, bahkan sebanyak pengetahuan/ ilmu Engkau, Ya Alloh Tuhan semesta alam”
Kemudian baca: ALFAATIHAAH.
=========================================
BACAAN TAHLIL/KHAUL (ZIARAH KUBUR)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
(DZIKIR KHOFI LAKSANAKAN TERUS)
I. SALAM DI DEPAN MAKAM WALIYULLOH :
ASSALAMU’ALAIKUM YAA WALIYYATULLOHI TAHIYYATAN MINNI ILAIKUM WAROHMATULLOHI WABARAKATUHU
II. SALAM Bila yang di dziarahi selain wali :
ASSLAMU’ALAIKUM YAA AHLA BAITI TAHIYYATAN MINNI ILAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUHU
LALU KUATKAN DZIKIR KHOFINYA, DAN SEBELUM DUDUK BACALAH SURAH ALFATIHAH. SELANJUTNYA LAKSANAKAN TAWASSUL/TAHLIL SESUAI DENGAN TUNTUTAN YG TELAH DICONTOHKAN OLEH GURU MURSYID SYEKH KH.AKHMAD SHOHIBUL WAFA TAJUL ARIFIN RA.
TETAPI JIKA TIDAK BERDZIARAH KUBUR, PARA IKHWAN BISA LANGSUNG KEPADA TAHLIL SEPERTI DI BAWAH INI :
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
1. ILAA HADLROTIN NABIYYIL MUSTOFA MUHAMMADIN S.A.W. WA 'ALAA AALIHI WA ASHAABIHI WA AZWAA JIHII WA DZURRIYYATIHII WA AHLI BAITIHI AJMA’IIN. SYAE-UN LILLAHI LAHUM – ALFAATIHAH.
2. TSUMMA ILAA ARWAAHI AABAA IHII WA
UMMAHAATIHI WA IKHWAANIHI MINAL ANBIYAAI WAL MURSALIINA WA ILA MALAAIKATIL MUQORROBIINA WAL KARUUBIYYIINA WASSYUHADAA-I WASSHOOLIHIINA WA AALI KULLIN WA ASH HAABI KULLIN WA ILAA RUUHI ABIINA AADAMA WA UMMINAA HAWAA WAMAA TANAASALA BAYNAHUMAA ILAA YAUMIDDIN SYAE-UN LILAAHI LAHUM – ALFATIHAH.
3. TSUMMA ILAA ARWAAHI SADAATINAA WA MAWAALIINA WAA-IMMATINAA ABII BAKRIN WA UMARO WA USTMAANA WA ‘ALIYY WA ILAA BAQIYYATIS SHOHAABATI WALQORABATI WATTA BI’IINA WATTABI-IT TAABI’IINA LAHUM BIBIHSANIN ILA YAUMIDDIN SYAE-UN LILAAHI LAHUM – ALFATIHAH.
4. TSUMMA ILAA ARWAAHI A-IMMATIL MUJTAHIDIINA WA MUQOLLIDIHIM FIDIINI WAL ‘ULAMAAIR ROOSYIDDINA WAL QURRO-IL MUKHLISHIN WA AHLI-TAFSIIRI WAL MUHADDITSIINA WA SA-IRI SAADAATIS SHUFIYYATIL MUHAQIQIINA WA ILAA ARWAHI KULLI WALIYYIN WA WALIYYAA TIW WA MUSLIMIN WAL MUSLIMATIN MIN MASYARARIQIL ARDHI ILAA MAGHOORIBIHAA WAMIN YAMINIHAA ILAA SYIMAALIHA SYAE-UN LILAAHI LAHUM – ALFATIHAH.
5. TSUMMA ILAA ARWAAHI AHLI SILSILATIL QOODIRIYYATI WA NAQSYABANDIYYATI WA JAMII’I AHLIT THURUQI KHUSUSON ILAA HADLROTI SULTHONIL AULIYAA-I GHAOTSILL A’DHOMI QUTUBIL 'AALAMIINAS SAYYIDISY SYAIKH 'ABDULQODIR JAELAANI QODDASALLOHU SIRROHU WA SAYYIDIS SYAIKH ABIL QOOSIMI JUNAIDIIL BAGHDAADII WA SAYYIDIS SYEKH MA’RUUFILKARKHI WA SAYYIDIS SYEH SIRRIS SAQOTHII WA SAYYIDIS SYEKH HABIIBIL ‘AJMII WA SAYYIDIS SYEKH HASAN BASRI WA SAYYIDIS SYEKH JA’FAR SHOODIQI WA SAYYIDIS SYEKH YUUSUFUL HAMDAANI WA SAYYIDIS SYEKH ABIIYAZIIDAL BUSTTHOMI WA SAYYIDIS SYEKH BAHAAUDINI NAQSYABANDII WA HALDROTI IMAAMI’R ROBBAANI WA HADLROTI SYAEKHINAL MUKARROM A SAYYIDIS SYEKH ABDILLAH MUBAROK BIN NUUR MUHAMMAD WASYEKHUNAL MUKARROM A SAYYIDIS SYEIKH AHMAD SHOHIBULWAFA TAJUL ARIFIN. RA WA USHUULIHIM WA FURUUIHIM WA AHLI SILSILATIHIM WAL AAKHIDZINA ANHUM SYAE-UN LILAAHI LAHUM – ALFATIHAH.
6. TSUMMA ILAA ARWAAHI WAALIDDINA WA WAALIDIKUM WA MASYAAYIIKHINA WA MASYAAYIKHIKUM WA AMWAATINA WA AMWAATIKUM WALIMAN AHSANA ILAINA WALIMAN LAHUU HAQOUN ALAINA WALIMAN AW SHONA WAS TAOSHONA WA QOLLADANAA ‘INDAKA BI DU’AA ILKHOIRI SYAE-UN LILAAHI LAHUM – ALFATIHAH.
7. TSUMMA ILAA ARWAAHI JAMI’IL MU’MINIINA WAL MU’MINAATI WAL MUSLIMIINA WA MUSLIMAATI AL-AHYAA-I MINHUM WAL AMWAAT MIN MASAARIQIL ARDLI ILAA MAGHOORBIHAA WAMIN YAMIINIHAA ILAA SYIMAALIHAA WAMIN QOOFIN ILAA QOOFIN MINWALADI AADAMA ILAA YAUMILQIYAAMAH SYAE-UN LILAAHI LAHUM – ALFATIHAH.
LAA ILAAHA ILLALLOOHUWALLOOHUAKBAR WALILLAHIILHAMDU
BISMILLAHIRROHMAANIRROHIM
QUL HUWAL LAAHU AHAD. AL-LAAHUSHOMAD. LAM YALID WA LAMYUULAD. WA LAM YAA KUL LAAHUU KUFUUWAN AHAAD. 3X
LAA ILAAHA ILLALLOOHUWALLOOHUAKBAR WALILLAHIILHAMDU
BISMILLAHIRROHMAANIRROHIM
QUL A’UUDZU BIROBBIL FALAQ. MINSYAR-RI MAA KHOLAQ-O. WA MIN SYARI-RI GHOOSIGIN IDZAA WAQOB. WA MIN SYA-RI NAF-FAATSAATI FIL UQOD-I. WA MIN SYAR-RI HAASIDIN IDZAA HASAD.
LAA ILAAHA ILLALLOOHUWALLOOHUAKBAR WALILLAHIILHAMDU
BISMILLAHIRROHMAANIRROHIM
QUL A’UUDZU BIROB-BIN NAAS-I. MALIKIN NAAS-I. ILAAHIN NAAS-I. MIN SYAR-RIL WAS WASIL KHON-NAAS. AL-LADZII YUWAS WISUFII SHUDUURIN NAAS-I. MINAL JIN NATI WAN-NAAS.
LAA ILAAHA ILLALLOOHUWALLOOHUAKBAR WALILLAHIILHAMDU
BISMILLAHIRROHMAANIRROHIM
ALHAMDU LILLAAHI ROB-BIL ‘AALAMIN. ARROHMAANIR-ROHIM. MAALIKI YAUMIDDIN. IYYAAKA NA’BUDU WA IYYAAKA NASTA’IN. IHDINASHSHIROOTHOL MUSTAQIIN. SHIROOTHOL-LADZIINA AN’AMTA ALAIHIM. GHOIRIL MAGDUUBI ‘ALAIHIM WALADH DHOOLIIN.
LAA ILAAHA ILLALLOOHUWALLOOHUAKBAR WALILLAHIILHAMDU
BISMILLAHIRROHMAANIRROHIM
ALIF-LAAM-MIIM. DZAALIKAL KITAABU LAA ROIBA FIIHI HUDAN LILMUTAQIIN. AL-LADZIINA YU MINUUNA BIL GHOIBI WA YUQIIMUUNASH-SHOLAATA. WA MIMMA ROZAQNAAHUM YUNFIQUUN. WAL-LADZIINA YU MINUUNA BIMA UNZILA ILAIKA WA MAA-UNZIILA MIN QOBLIKA WA BIL AAKHIROTI HUM YUUQINUUN. ULAA-IKA ALLA HUDAM MIRROB-BIHIM WA ULAIKA HUMUL MUFLIHUUN.
WA ILAA HUKUM ILAAHUWWAHIDUN LAA ILAHA ILLA HUWARROHMAANURROHIIM. ALLOOHU LAA ILAAHA ILLA HUWAL HAYYUL QOYYUM. LAA TA’KHUDZHUHUU SINATUW WALAA NAUUM.. LAHUUMAA FISSAMAAWAATI WAMAA FIL ARDHI MANDZALLAZI YASYFA’U ‘INDAHUU ILLA BI-IDZNIHII YA’LAMUMAA BAINA AIDIIHIM WAMAA KHOLFAHUM WALA YUHIIYUUNA BISYAI-IN MIN ‘ILMIHII ILLA BIMAASYAA-A WASI’A KURSIYYUHUS SAMAAWAATI WAL ARDHO WALAA YAUUDUHUU HIFDHUHUMAA WAHUWAL ‘ALIYYUL’AZHIIIM
ASTAHGFIRULLOHAL GHOFUUROR ROHIIM 3X
ALLOHUMMA SHOLLI ‘ALAA SAYYIDINA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHI WA SHOHBIHII WASALLIM 3 X
ILAAHI ANTA MAQSHUUDII WARIDHOOKA MATHLUUBI A’THIINII MAHABBATAKA WAMA’RIFATAKA
LAA ILAAHA ILLALLAAH 165 X
SAYYIDUNAA MUHAMMADUR ROSUULULLOHI SHOLLALLOOHU ‘ALAIHI WA SALLAM.
KEMUDIAN BERDOA:
BISMILLAHIRROMAANIRROHIIM
ALLOHUMMA SHOLLI ALA SAYYIDINA MUHAMMADIN WA ALA AALI SAYYIDINA MUHAMMADDIN. SHOLAATAN TUNJIINAA BIHAA MIN JAMII’IL AHWAALI WAL AAFAATI WATAQDHILANAA BIHA JAA’AL HAAJAATI. WATUTHOHHIRUNA BIHAA MIN JAMII’IS SAYYIATI. WATARFA’UNAA BIHAA INDAKA ‘ALADDAROJAATI. WATUBALLIGHUNAA BIHAA AQSHOLGOYAATI MIN JAMII’IL KHOIROOTI FIL HAYATI WABA’DAL MAMAATI. INNALLADZIINA YUBAYYIUU NAKA INNAMA YUBAYYI’UNALLOOHA. YADULLOOHI FAUQO AIDIIHIM FAMAN NAKATSA FAINNAMAA YANKUTSU ‘ALAA NAFSIHII WA MAN AUFAA BIMAA ‘AAHADA ‘ALAIHULLOHA FASAYU’TIIHI AJRON ‘AZHIIMAA.
ALLOHUMMAGHFIRLAHU WARHAMHU WA’AAFIHI WA’FU ‘ANHU WA AKRIM NUZULAHUU WAWASSI’ MADKHOLAHUU WAAGHSILHU BIMAA-IN WATSALJIN WABARODIN WANAQQIHIL MINAL KHOTHOOYAA KAMAA YUNAQQOTS TSAUBUL ABYADHU MINADDANASI WAABDILHU DAARON KHORON MIN ZAJIHII WAQIHII FITNATAL QOBRI WA’ADZAABANNAARI.
WA’TAHSIMUUBIHABLILLAAHI 3X
ROBBANAFTAHBAINANAA WABAINA QOUMINAA BIHAQQI WA ANTA KHOIRUL FAATIHIIN. ROBBANAA ANZILNAA MUNZALAN MUBAAROKAN WA ANTA KHOIRUL MUNZILIIN. ROBBANAA AATINAA FIDDUNYA HASANAH WAFIL AKHIROTI HASANAH WAQINAA ‘ADZAABANNAAR.
WALHAMDULILLAHIROBBIL ‘AALAMIIN
(Dilanjutkan membaca)
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
1. ILAA HADLROTIN NABIYYIL MUSTOFA MUHAMMADIN S.A.W. WA ALAA AALIHI WA ASHHAABIHI WA AZWA JIHII WA DZURRIYYATIHII WA AHLI BAETHII AJMA’IINA SYAE-UN LILLAHI LAHUM – ALFAATIHAH.
2. TSUMMA ILAA ARWAAHI AHLI SILSILATIL QOODIRIYYATI WA NAQSYABANDIYYATI WA JAMII’I AHLIT THURUQI KHUSUSON ILAA HADLROTI SULTHONIL AULIYAA-I GHAOTSILL A’DHOMI QUTUBIL 'AALAMIINAS SAYYIDISY SYAIKH 'ABDULQODIR JAELAANI QODDASALLOHU SIRROHU WA SAYYIDIS SYAIKH ABIL QOOSIMI JUNAIDIIL BAGHDAADII WA SAYYIDIS AKHMAD KHATIB SYAMBAS IBNU ABDUL GHOFFAR WASYYIDIS SYEKH TOLHA KALISAFI CIREBON WASAYYIDIS SYEKH ABDUL KARIM BANTEN WA HADLROTI SYAEKHINAL MUKARROM SYEKH ABDULLAH MUBAROK BIN NUUR MUHAMMAD WA ILAA HADROTII SYAEKHUNAL MUKARROM SYEKH AHMAD SHOHIBULWAFA TAJUL ARIFIN.Qs WA USHUULIHIM WA FURUUIHIM WA AHLI SILSILATIHIM WAL AAKHIDZINA ANHUM SYAE-UN LILAAHI LAHUM – ALFATIHAH
3. TSUMMA ILAA ARWAAHI AABAA-INAA WA UMMAHAATINAA WALI KAFFATIL MUSLIMIINA WAL MUSLIMAAT, WAL MU’MINIINA WAL MU’MINAAT AL AHYAAI MINHUM WAL AMWAAT....SYAIUN LILLAAHI LAHUMUL AL-FATIHAH
ASTAGHFIRULLOHHA ROBBI MINKULLI DZANBIN WA ATUUBU ILAIIH . 3X
ALLOHUMMA SHOLLI ‘ALA SAYYIDINA MUHAMMADIN WA’ALA AALI SAYYIDINAA MUHAMMAD, KAMASHOLLAITA ALA SAYYIDINA IBROOHIMA WA ALA ALI SAYYIDINA IBROHIIM , WABAARIK ‘ALA SAYYIDINA MUHAMMADIN WA ‘ALA AALI SAYYYIDINA MUHAMMAD
KAMABAROKTA ALA SAYYIDINA IBROOHIMA WA ‘ALA AALI SAYYIDINA IBROOHIM, FIL ‘AALAMIINA INNAKA HAMIIDUN MAJIID
BACA:
ILAHII ANTA MAQSUDI WARI DOOKA MATHLUUBI A’TINII MAHABBATAKA WAMA’RIFATAKA
“TAWAJJUH”
DITUTUP: SAYYIDUNA MUHAMMADUR ROSUULULLOHI SHOLLALLOOHU ‘ALAIHI WASALLAM…
(SUMBER : BUKU TAWASSUL DAN TAHLIL/DZIARAH KUBUR TQN, TERBITAN PESANTREN SURYALAYA TASIKMALAYA)
Minggu, 07 April 2013
Jin menurut Islam
Jin
memang diakui keberadaannya dalam syariat. Sayangnya, banyak masyarakat
yang menyikapinya dengan dibumbui klenik mistis. Bahkan belakangan,
tema jin dan alam ghaib menjadi salah satu komoditi yang menyesaki
tayangan berbagai media.
(Sumber : www.asysyariah.com)
Fenomena
alam jin akhir-akhir ini menjadi topik yang ramai diperbincangkan dan
hangat di bursa obrolan. Menggugah keinginan banyak orang untuk
mengetahui lebih jauh dan menyingkap tabir rahasianya, terlebih ketika
mereka banyak disuguhi tayangan-tayangan televisi yang sok berbau alam
ghaib. Lebih parah lagi, pembahasan seputar itu tak lepas dari pemahaman
mistik yang menyesatkan dan membahayakan aqidah. Padahal alam ghaib,
jin, dan sebagainya merupakan perkara yang harus diimani keberadaannya
dengan benar.
Membahas
topik seputar jin sendiri sejatinya sangatlah panjang. Sampai-sampai
guru kami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu mengatakan: “Bila ada
seseorang yang menulisnya, tentu akan keluar menjadi sebuah buku
seperti Bulughul Maram atau Riyadhus Shalihin, dilihat dari sisi
klasifikasinya, yang muslim dan yang kafir, penguasaan jin dan setan,
serta godaan-godaannya terhadap Bani Adam.”
Keagamaan Kaum Jin
Jin
tak jauh berbeda dengan Bani Adam. Di antara mereka ada yang shalih dan
ada pula yang rusak lagi jahat. Seperti firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala menghikayatkan mereka:
وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُوْنَ وَمِنَّا دُوْنَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا
“Dan
sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang shalih dan di antara
kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan
yang berbeda-beda.” (Al-Jin: 11)
Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُوْنَ وَمِنَّا الْقَاسِطُوْنَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُولَئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا
“Dan
sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula)
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran.” (Al-Jin: 14)
Di
antara mereka ada yang kafir, jahat dan perusak, ada yang bodoh, ada
yang sunni, ada golongan Syi’ah, serta ada juga golongan sufi.
Diriwayatkan
dari Al-A’masy, beliau berkata: “Jin pernah datang menemuiku, lalu
kutanya: ‘Makanan apa yang kalian sukai?’ Dia menjawab: ‘Nasi.’ Maka
kubawakan nasi untuknya, dan aku melihat sesuap nasi diangkat sedang aku
tidak melihat siapa-siapa. Kemudian aku bertanya: ‘Adakah di
tengah-tengah kalian para pengikut hawa nafsu seperti yang ada di
tengah-tengah kami?’ Dia menjawab: ‘Ya.’
‘Bagaimana
keadaan golongan Rafidhah yang ada di tengah kalian?” tanyaku. Dia
menjawab: ‘Merekalah yang paling jelek di antara kami’.”
Ibnu
Katsir rahimahullahu berkata: “Aku perlihatkan sanad riwayat ini pada
guru kami, Al-Hafizh Abul Hajjaj Al-Mizzi, dan beliau mengatakan: ‘Sanad
riwayat ini shahih sampai Al-A’masy’.” (Tafsir Al-Qur`anul ’Azhim,
4/451)
Mendakwahi Jin
Dakwah
memiliki kedudukan yang sangat agung. Dakwah merupakan bagian dari
kewajiban yang paling penting yang diemban kaum muslimin secara umum dan
para ulama secara lebih khusus. Dakwah merupakan jalan para rasul, di
mana mereka merupakan teladan dalam persoalan yang besar ini.
Karena
itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan para ulama untuk
menerangkan kebenaran dengan dalilnya dan menyeru manusia kepadanya.
Sehingga keterangan itu dapat mengeluarkan mereka dari gelapnya
kebodohan, dan mendorong mereka untuk melaksanakan urusan dunia dan
agama sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Dakwah
yang diemban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dakwah yang
universal, tidak terbatas kepada kaum tertentu tetapi untuk seluruh
manusia. Bahkan kaum jin pun menjadi bagian dari sasaran dakwahnya.
Al-Qur`an
telah mengabarkan kepada kita bahwa sekelompok kaum jin mendengarkan
Al-Qur`an, sebagaimana tertera dalam surat Al-Ahqaf ayat 29-32. Kemudian
Allah menyuruh Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar
memberitahukan yang demikian itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا
“Katakanlah
(hai Muhammad): ‘Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya: sekumpulan jin
telah mendengarkan Al-Qur`an, lalu mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami
telah mendengarkan Al-Qur`an yang menakjubkan’,” dan seterusnya. (Lihat
Al-Qur`an surat Al-Jin: 1)
Tujuan
dari itu semua adalah agar manusia mengetahui ihwal kaum jin, bahwa
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada segenap manusia dan
jin. Di dalamnya terdapat petunjuk bagi manusia dan jin serta apa yang
wajib bagi mereka yakni beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Rasul-Nya, dan hari akhir. Juga taat kepada Rasul-Nya dan larangan dari
melakukan kesyirikan dengan jin.
Jika
jin itu sebagai makhluk hidup, berakal dan dibebani perintah dan
larangan, maka mereka akan mendapatkan pahala dan siksa. Bahkan karena
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diutus kepada mereka, maka wajib
atas seorang muslim untuk memberlakukan di tengah-tengah mereka seperti
apa yang berlaku di tengah-tengah manusia berupa amar ma’ruf nahi
mungkar dan berdakwah seperti yang telah disyariatkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya. Juga seperti yang telah diserukan dan dilakukan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas mereka. Bila mereka menyakiti,
maka hadapilah serangannya seperti saat membendung serangan manusia.
(Idhahu Ad-Dilalah fi ‘Umumi Ar-Risalah, hal. 13 dan 16)
Mendakwahi
kaum jin tidaklah mengharuskan seseorang untuk terjun menyelami
seluk-beluk alam dan kehidupan mereka, serta bergaul langsung dengannya.
Karena semua ini tidaklah diperintahkan. Sebab, lewat majelis-majelis
ta’lim dan kegiatan dakwah lainnya yang dilakukan di tengah-tengah
manusia berarti juga telah mendakwahi mereka.
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu berkata: “Bisa jadi ada sebagian orang mengira bahwa para jin itu tidak menghadiri majelis-majelis ilmu. Ini adalah sangkaan yang keliru. Padahal tidak ada yang dapat mencegah mereka untuk menghadirinya, kecuali di antaranya ada yang mengganggu dan ada setan-setan.
Maka kita katakan:
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu berkata: “Bisa jadi ada sebagian orang mengira bahwa para jin itu tidak menghadiri majelis-majelis ilmu. Ini adalah sangkaan yang keliru. Padahal tidak ada yang dapat mencegah mereka untuk menghadirinya, kecuali di antaranya ada yang mengganggu dan ada setan-setan.
Maka kita katakan:
وَقُلْ رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ. وَأَعُوْذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُوْنِ
“Ya
Rabbku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan
aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Rabbku, dari kedatangan mereka
kepadaku.” (Al-Mu`minun: 97-98) [lihat Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal
Jin]
Adakah Rasul dari Kalangan Jin?
Para
ulama berselisih pendapat tentang masalah ini, apakah dari kalangan jin
ada rasul, ataukah rasul itu hanya dari kalangan manusia? Sementara
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَامَعْشَرَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّوْنَ عَلَيْكُمْ آيَاتِي وَيُنْذِرُوْنَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا شَهِدْنَا عَلَى أَنْفُسِنَا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَشَهِدُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا كَافِرِيْنَ
“Wahai
golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari
golongan kamu sendiri yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan
memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini?”
Mereka berkata: ‘Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri’. Kehidupan
dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka
sendiri bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.” (Al-An’am: 130)
Sebagian
ulama berdalil dengan ayat ini untuk menyatakan bahwa ada rasul dari
kalangan jin. Juga berdalilkan dengan sebuah atsar (riwayat) dari
Adh-Dhahhak ibnu Muzahim. Beliau mengatakan bahwa ada rasul dari
kalangan jin. Yang berpendapat seperti ini di antaranya adalah Muqatil
dan Abu Sulaiman, namun keduanya tidak menyebutkan sandaran (dalil)-nya.
(Zadul Masir, 3/125) Yang benar, wal ’ilmu ’indallah, tidak ada rasul
dari kalangan jin. Dan pendapat inilah yang para salaf dan khalaf berada
di atasnya. Adapun atsar yang datang dari Adh-Dhahhak, telah
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya (12/121). Namun di dalam
sanadnya ada syaikh (guru) Ibnu Jarir yang bernama Ibnu Humaid yakni
Muhammad bin Humaid Abu Abdillah Ar-Razi. Para ulama banyak
membicarakannya, seperti Al-Imam Al-Bukhari telah berkata tentangnya:
“Fihi nazhar (perlu ditinjau kembali, red.).” Al-Imam Adz-Dzahabi
rahimahullahu berkata: “Dia, bersamaan dengan kedudukannya sebagai imam,
adalah mungkarul hadits, pemilik riwayat yang aneh-aneh.” (Siyarul
A’lam An-Nubala`, 11 / 530). Lebih lengkapnya silahkan pembaca merujuk
kitab-kitab al-jarhu wa ta’dil.
Ibnu
Katsir rahimahullahu berkata: “Tidak ada rasul dari kalangan jin
seperti yang telah dinyatakan Mujahid dan Ibnu Juraij serta yang lainnya
dari para ulama salaf dan khalaf. Adapun berdalil dengan ayat –yakni
Al-An’am: 130–, maka perlu diteliti ulang karena masih terdapatnya
kemungkinan, bukan merupakan sesuatu yang sharih (jelas pendalilannya).
Sehingga kalimat ‘dari golongan kamu sendiri’ maknanya adalah ‘dari
salah satu golongan kamu’.” (Lihat Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 2/188)
Menikah dengan Jin
Menikah
adalah satu-satunya cara terbaik untuk mendapatkan keturunan. Karena
itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkannya untuk segenap
hamba-hamba-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنْكِحُوا اْلأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ
“Dan
nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang
yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan.”(An-Nuur:
32)
Kaum
jin memiliki keturunan dan anak keturunannya beranak-pinak, sebagaimana
manusia berketurunan dan anak keturunannya beranak-pinak. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَفَتَتَّخِذُوْنَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُوْنِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ
“Patutkah
kalian mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain-Ku,
sedangkan mereka adalah musuh kalian?” (Al-Kahfi: 50)
Kalangan
kaum jin itu ada yang berjenis laki-laki dan ada juga perempuan,
sehingga untuk mendapatkan keturunan merekapun saling menikah. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلاَ جَانٌّ
“Tidak
pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga
yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (Ar-Rahman: 56)
Artha’ah
Ibnul Mundzir rahimahullahu berkata: “Dhamrah ibnu Habib pernah
ditanya: ‘Apakah jin akan masuk surga?’ Beliau menjawab: ‘Ya, dan mereka
pun menikah. Untuk jin yang laki-laki akan mendapatkan jin yang
perempuan, dan untuk manusia yang jenis laki-laki akan mendapatkan yang
jenis perempuan’.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya,
4/288)
Termasuk
kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap Bani Adam, Allah
Subhanahu wa Ta’ala menjadikan untuk mereka suami-suami atau istri-istri
dari jenis mereka sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya. Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang.” (Ar-Rum: 21)
Perkara
ini, yakni pernikahan antara manusia dengan manusia adalah hal yang
wajar, lumrah dan sesuai tabiat, karena adanya rasa cinta dan kasih
sayang di tengah-tengah mereka. Persoalannya, mungkinkah terjadi
pernikahan antara manusia dengan jin, atau sebaliknya jin dengan
manusia?
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Pernikahan antara manusia
dengan jin memang ada dan dapat menghasilkan anak. Peristiwa ini sering
terjadi dan populer. Para ulama pun telah menyebutkannya. Namun
kebanyakan para ulama tidak menyukai pernikahan dengan jin.” (Idhahu
Ad-Dilalah hal. 16) 1
Asy-Syaikh
Muqbil bin Hadi rahimahullahu mengatakan: “Para ulama telah berselisih
pendapat tentang perkara ini sebagaimana dalam kitab Hayatul Hayawan
karya Ad-Dimyari. Namun menurutku, hal itu diperbolehkan, yakni
laki-laki yang muslim menikahi jin wanita yang muslimah. Adapun firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepada-nya…” (Ar-Rum: 21),
maka
–maknanya– ini adalah anugrah yang terbesar di mana manusia yang jenis
laki-laki menikah dengan manusia yang jenis perempuan, dan jin laki-laki
dengan jin perempuan.
Tetapi
jika seorang laki-laki dari kalangan manusia menikah dengan seorang
perempuan dari kalangan jin, maka kita tidak memiliki alasan dari
syariat yang dapat mencegahnya. Demikian juga sebaliknya. Hanya saja
Al-Imam Malik rahimahullahu tidak menyukai bila seorang wanita terlihat
dalam keadaan hamil, lalu dia ditanya: “Siapa suamimu?” Dia menjawab:
“Suamiku dari jenis jin.”
Saya
(Asy-Syaikh Muqbil) katakan: “Memungkinkan sekali fenomena yang seperti
ini membuka peluang terjadinya perzinaan dan kenistaan.” (Nashihatii li
Ahlis Sunnah Minal Jin)
Meminta Bantuan Jin
Sangat
rasional dan amatlah sesuai dengan fitrah bila yang lemah meminta
bantuan kepada yang kuat, dan yang kekurangan meminta bantuan kepada
yang serba kecukupan.
Manusia
lebih mulia dan lebih tinggi kedudukannya daripada jin. Sehingga
sangatlah jelek dan tercela bila manusia meminta bantuan kepada jin.
Selain itu, bila ternyata yang dimintai bantuannya adalah setan, maka
secara perlahan, setan itu akan menyuruh kepada kemaksiatan dan
penyelisihan terhadap agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ اْلإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا
“Dan
bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin. Maka jin-jin itu
menambah ketakutan bagi mereka.” (Al-Jin: 6)
Ibnu
Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: “Ada sekelompok orang dari kalangan
manusia yang menyembah beberapa dari kalangan jin, lalu para jin itu
masuk Islam. Sementara sekelompok manusia yang menyembahnya itu tidak
mengetahui keislamannya, mereka tetap menyembahnya sehingga Allah
Subhanahu wa Ta’ala mencela mereka.” (Diambil dari Qa’idah ’Azhimah,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 24)
Jin
tidak mengetahui perkara yang ghaib dan tidak punya kekuatan untuk
memberikan kemudharatan tidak pula mendatangkan kemanfaatan. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلاَّ دَابَّةُ اْلأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُوْنَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِيْنِ
“Maka
tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang
menunjukkan kematiannya itu kepada mereka kecuali rayap yang memakan
tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa
kalau mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam
siksa yang menghinakan.” (Saba`: 14)
Jin
tidak memiliki kemampuan untuk menolak mudharat atau memindahkannya.
Jin tidak bisa mentransfer penyakit dari tubuh manusia ke dalam tubuh
binatang. Demikian pula manusia, tidak punya kemampuan untuk itu. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لَهُ عَلَيْهِمْ مِنْ سُلْطَانٍ إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَنْ يُؤْمِنُ بِاْلآخِرَةِ مِمَّنْ هُوَ مِنْهَا فِي شَكٍّ وَرَبُّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَفِيْظٌ. قُلِ ادْعُوا الَّذِيْنَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُوْنِ اللهِ لاَ يَمْلِكُوْنَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَوَاتِ وَلاَ فِي اْلأَرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيْهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيْرٍ
“Dan
tidak adalah kekuasaan Iblis terhadap mereka, melainkan hanyalah agar
Kami dapat membedakan siapa yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat
dari siapa yang ragu-ragu tentang itu. Dan Rabbmu Maha Memelihara
segala sesuatu. Katakanlah: ‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai
sesembahan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat
zarrahpun di langit dan di bumi. Dan mereka tidak mempunyai suatu
sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di
antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya’.” (Saba`: 21-22)
Gangguan Jin
Secara
umum, gangguan jin merupakan sesuatu yang tidak diragukan lagi
keberadaannya, baik menurut pemberitaan Al-Qur`an, As-Sunnah, maupun
ijma’. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Dan
jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah
perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.” (Fushshilat: 36)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الشَّيْطَانَ عَرَضَ لِي فَشَدَّ عَلَيَّ لِيَقْطَعَ الصَّلاَةَ عَلَيَّ فَأَمْكَنَنِي اللهُ مِنْهُ فَذَعَتُّهُ وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أُوْثِقَهُ إِلَى سَارِيَةٍ حَتَّى تُصْبِحُوا فَتَنْظُرُوا إِلَيْهِ فَذَكَرْتُ قَوْلَ سُلَيْمَانَ عَلَيْهِ السَّلاَم: رَبِّ هَبْ لِي مُلْكًا لاَ يَنْبَغِي لأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي. فَرَدَّهُ اللهُ خَاسِيًا
“Sesungguhnya
setan menampakkan diri di hadapanku untuk memutus shalatku. Namun Allah
memberikan kekuasaan kepadaku untuk menghadapinya. Maka aku pun
membiarkannya. Sebenarnya aku ingin mengikatnya di sebuah tiang hingga
kalian dapat menontonnya. Tapi aku teringat perkataan saudaraku Sulaiman
‘alaihissalam: ‘Ya Rabbi anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak
dimiliki seorang pun sesudahku’. Maka Allah mengusirnya dalam keadaan
hina.” (HR. Al-Bukhari no. 4808, Muslim no. 541 dari Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu)
Suatu
ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang mendirikan
shalat, lalu didatangi setan. Beliau memegangnya dan mencekiknya. Beliau
bersabda:
حَتَّى إِنِّي لأَجِدُ بَرْدَ لِسَانِهِ فِي يَدَيَّ
“Hingga
tanganku dapat merasakan lidahnya yang dingin yang menjulur di antara
dua jariku: ibu jari dan yang setelahnya.” (HR. Ahmad, 3/82-83 dari Abu
Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu)
Diriwayatkan dari ‘Utsman bin Abil ‘Ash radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ حَالَ بَيْنِي وَبَيْنَ صَلاَتِي وَقِرَاءَتِي يَلْبِسُهَا عَلَيَّ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَاكَ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خَنْزَبٌ فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْهُ وَاتْفِلْ عَلَى يَسَارِكَ ثَلاَثًا. قَالَ: فَفَعَلْتُ ذَلِكَ فَأَذْهَبَهُ اللهُ عَنِّي
“Wahai
Rasulullah, setan telah menjadi penghalang antara diriku dan shalatku
serta bacaanku.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Itulah
setan yang bernama Khanzab. Jika engkau merasakannya, maka berlindunglah
kepada Allah darinya dan meludahlah ke arah kiri tiga kali.” Aku pun
melakukannya dan Allah telah mengusirnya dari sisiku. (HR. Muslim no.
2203 dari Abul ’Ala`)
Gangguan
jin juga bisa berupa masuknya jin ke dalam tubuh manusia yang
diistilahkan orang sekarang dengan kesurupan atau kerasukan.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Keberadaan jin merupakan
perkara yang benar menurut Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta
kesepakatan salaful ummah dan para imamnya. Demikian pula masuknya jin
ke dalam tubuh manusia adalah perkara yang benar dengan kesepakatan para
imam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.”
(Al-Baqarah: 275)
Dan dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ
“Sesungguhnya setan itu berjalan di dalam diri anak Adam melalui aliran darah.”
Tidak
ada imam kaum muslimin yang mengingkari masuknya jin ke dalam tubuh
orang yang kesurupan. Siapa yang mengingkarinya dan menyatakan bahwa
syariat telah mendustakannya, berarti dia telah mendustakan syariat itu
sendiri. Tidak ada dalil-dalil syar’i yang menolaknya.” (Majmu’ul
Fatawa, 24/276-277, diambil dari tulisan Asy-Syaikh Ibnu Baz, Idhahul
Haq)
Ibnul Qayyim juga telah panjang lebar menerangkan masalah ini. (Lihat Zadul Ma’ad, 4/66-69)
Golongan yang Mengingkari Masuknya Jin ke dalam Tubuh Manusia (Kesurupan)
a. Kaum orientalis, musuh-musuh Islam yang tidak percaya kecuali kepada hal-hal yang bisa diraba panca indra.
b.
Para ahli filsafat dan antek-anteknya, mereka mengingkari keberadaan
jin. Maka secara otomatis merekapun mengingkari merasuknya jin ke dalam
tubuh manusia.
c. Kaum Mu’tazilah, mereka mengakui adanya jin tetapi menolak masuknya jin ke dalam tubuh manusia.
d.
Prof. Dr. ‘Ali Ath-Thanthawi, guru besar Universitas Al-Azhar, Kairo.
Ia mengingkari dan mendustakan terjadinya kesurupan karena jin dan
menganggap hal itu hanyalah sesuatu yang direkayasa (lihat artikel
Idhahul Haq fi Dukhulil Jinni Fil Insi, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz
rahimahullahu)
e.
Dr. Muhammad Irfan. Dalam surat kabar An-Nadwah tanggal 14/10/1407 H,
menyatakan bahwa: “Masuknya jin ke dalam tubuh manusia dan bicaranya jin
lewat lisan manusia adalah pemahaman ilmiah yang salah 100%.” (Idhahul
Haq)
f.
Persatuan Islam (PERSIS). Dalam Harian Pikiran Rakyat tanggal 5
September 2005, mengeluarkan beberapa pernyataan yang diwakili Dewan
Hisbahnya, sebagai berikut: “Poin 7 …Tidak ada kesurupan jin, keyakinan
dan pengobatan kesurupan jin adalah dusta dan syirik.”
Semua
pengingkaran atas kemampuan masuknya jin ke dalam tubuh manusia adalah
batil. Hanya terlahir dari sedikitnya ilmu akan perkara-perkara yang
syar’i dan terhadap apa yang ditetapkan ahlul ilmi dari kalangan Ahlus
Sunnah Wal Jamaah. Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata: “Aku pernah
berkata pada ayahku: ‘Sesungguhnya ada sekumpulan kaum yang berkata
bahwa jin tidak dapat masuk ke tubuh manusia yang kerasukan.’ Maka
ayahku berkata: ‘Wahai anakku, tidak benar. Mereka itu berdusta. Bahkan
jin dapat berbicara lewat lidahnya’.” (Idhahu Ad-Dilalah, atau lihat
Majmu’ul Fatawa, 19/10)
Berikut ini pernyataan para mufassir (ahli tafsir) berkenaan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
“Orang-orang
yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (Al-Baqarah:
275)
q
Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu mengatakan: “Yakni bahwa
orang-orang yang menjalankan praktek riba ketika di dunia, maka pada
hari kiamat nanti akan bangkit dari dalam kuburnya seperti bangkitnya
orang yang kesurupan setan yang dirusak akalnya di dunia. Orang itu
seakan kerasukan setan sehingga menjadi seperti orang gila.” (Jami’
Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur`an, 3/96)
q
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menegaskan: “Ayat ini adalah argumen
yang mementahkan pendapat orang yang mengingkari adanya kesurupan jin
dan menganggap yang terjadi hanyalah faktor proses alamiah dalam tubuh
manusia serta bahwa setan sama sekali tidak dapat merasuki manusia.”
(Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 3/355)
q
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Yakni mereka tidak akan
bangkit dari kuburnya pada hari kiamat melainkan seperti bangkitnya
orang yang kesurupan setan saat setan itu merasukinya.” (Tafsir
Al-Qur`anul ‘Azhim, 1/359)
Penyebab Kesurupan
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menjelaskan bahwa masuknya jin pada
tubuh manusia bisa jadi karena dorongan syahwat, hawa nafsu dan rasa
cinta kepada manusia, sebagaimana yang terjadi antara manusia satu sama
lainnya. Terkadang -atau bahkan mayoritasnya- juga karena dendam dan
kemarahan atas apa yang dilakukan sebagian manusia seperti buang air
kecil, menuangkan air panas yang mengenai sebagian mereka, serta
membunuh sebagian mereka meskipun manusia tidak mengetahuinya.
Kalangan
jin juga banyak melakukan kedzaliman dan banyak pula yang bodoh,
sehingga mereka melakukan pembalasan di luar batas. Masuknya jin ke
tubuh manusia terkadang disebabkan keisengan sebagian mereka dan
tindakan jahat yang dilakukannya. (Idhahu Ad-Dilalah Fi ‘Umumi
Ar-Risalah, hal. 16)
Bagaimana kita menghindari gangguan-gangguan itu?
Ibnu
Taimiyah rahimahullahu menjelaskan: “Adapun orang yang melawan
permusuhan jin dengan cara yang adil sebagaimana Allah dan Rasul-Nya
perintahkan, maka dia tidak mendzalimi jin. Bahkan ia taat kepada Allah
dan Rasul-Nya dalam menolong orang yang terdzalimi, membantu orang yang
kesusahan, dan menghilangkan musibah dari orang yang tertimpanya, dengan
cara yang syar’i dan tidak mengandung syirik serta tidak mengandung
kedzaliman terhadap makhluk. Yang seperti ini, jin tidak akan
mengganggunya, mungkin karena jin tahu bahwa dia orang yang adil atau
karena jin tidak mampu mengganggunya. Tapi bila jin itu dari kalangan
yang sangat jahat, bisa jadi dia tetap mengganggunya, tetapi dia lemah.
Untuk yang seperti ini, semestinya ia melindungi diri dengan membaca
ayat Kursi, Al-Falaq, An-Nas (atau bacaan lain yang semakna, ed),
shalat, berdoa, dan semacam itu yang bisa menguatkan iman dan menjauhkan
dari dosa-dosa…” (Idhahu Ad-Dilalah, hal. 138)
Pembaca, demikian yang dapat kami paparkan di sini, mudah-mudahan dapat mewakili apa yang belum lengkap penjelasannya.
Wal’ilmu ’indallah.
1
Di antara ulama yang berpendapat terlarangnya hal itu adalah Asy-Syaikh
Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullahu. Beliau mengatakan: “Saya
tidak mengetahui dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam adanya dalil yang menunjukkan bolehnya pernikahan
antara manusia dan jin. Bahkan yang bisa dijadikan pendukung dari dzahir
ayat adalah tidak bolehnya hal itu.” (Adhwa`ul Bayan, 3/321)
Badruddin
Asy-Syibli dalam bukunya Akamul Mirjan mengemukakan bahwa sekelompok
tabi’in membenci pernikahan jin dengan manusia. Di antara mereka adalah
Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Hajjaj bin Arthah, demikian pula sejumlah
ulama Hanafiyah.
(Sumber : www.asysyariah.com)
Langganan:
Postingan (Atom)